Dipimpin Polisi Lagi, KPK Dinilai Bergerak Mundur


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menunjuk Setyo Budiyanto sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih periode 2024-2029. Pimpinan terpilih atau komisioner KPK lainnya yang ditetapkan DPR antara lain: Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, dan Agus Joko Pramono.

Keterpilihan Komisaris Jenderal Polisi Setyo Budiyanto sebagai Ketua KPK terpilih membawa skeptisme bagi sejumlah kalangan. Pasalnya, publik diingatkan dengan kasus hukum yang menimpa eks Ketua KPK Firli Bahuri—yang juga jenderal bintang tiga kepolisian—dalam kasus gratifikasi, suap, dan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Saat Firli menjadi Ketua KPK, Setyo Budiyanto dipercaya menjadi Direktur Penyidikan KPK periode 2020-2021. Kasus hukum Firli mencoreng lembaga antirasuah usai ia ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terhadap SYL pada 22 November 2023. Usai bertugas di KPK, Setyo Budiyanto ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian oleh Mentan Andi Amran Sulaiman pada 22 Maret 2024.

Keterpilihan Setyo sebagai pimpinan KPK disebut tak lepas dari intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam laporan Majalah INSIDER Edisi 2 November 2024 berjudul “Cawe-cawe di Komisi Antirasuah” disinyalir terdapat sejumlah pihak yang diduga cawe-cawe dalam proses seleksi capim KPK, salah satunya Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Orang nomor satu Korps Bhayangkara sekaligus orang dekat mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu disebut-sebut “menitipkan” nama Setyo Budiyanto dan beberapa calon yang berasal dari lembaganya kepada panitia seleksi (Pansel) KPK. Kabar itu dibantah Setyo dan meminta Inilah.com menanyakan rumor tersebut ke Pansel.

Peneliti Pusat Riset Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin mengatakan, proses dan mekanisme pemilihan pimpinan baru KPK sejak awal sudah sarat kepentingan politik. Menurutnya, eksekutif dan legislatif berperan membonsai KPK sehingga KPK menjadi alat kepentingan politik pragmatis.

“Terlihat ada kompromi serta bagi-bagi kekuasaan di antara presiden waktu itu, Joko Widodo, dan juga pihak partai politik yang ada di parlemen. Dari sisi pansel, nama-nama (calon pimpinan KPK) yang diajukan saya pikir tidak menunjukkan langkah atau terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Muhamad Haripin kepada Inilah.com pada Jumat, 22 November 2024.

Sebelumnya, mantan Presiden Jokowi menunjuk langsung sembilan nama anggota pansel calon pimpinan (capim) KPK periode 2024-2029. Sebanyak lima di antaranya berasal dari unsur pemerintahan dan empat lainnya dipilih mewakili masyarakat sipil. Penetapan itu berdasarkan pada Surat Presiden (Surpres) mengenai Calon Pimpinan dan Calon Anggota Dewas KPK tertanggal 15 Oktober 2024. 

Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh ditunjuk sebagai ketua pansel. Sedangkan, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Satria ditunjuk sebagai wakil ketua pansel. Anggota pansel dari unsur pemerintah lainnya, yakni Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.

Sekretariat Pansel bentukan Jokowi ini juga mengambil markas di lingkungan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) yang jaraknya selemparan batu dari Kantor Presiden. Haripin menyebut, komposisi pansel capim dan dewan pengawas KPK kali ini cenderung mewakili kepentingan pemerintah. Presiden Jokowi dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab melemahkan lembaga antikorupsi paling efektif di Indonesia itu.

Menurutnya, upaya pelemahan KPK sudah terjadi saat pembahasan revisi UU KPK tahun 2019. Dalam revisi UU KPK, DPR, dengan restu Jokowi, mencabut kewenangan KPK yang selama ini punya keleluasaan memberantas korupsi. UU yang diamandemen memungkinkan KPK menghentikan penyidikan. Alhasil, KPK menjadi tidak ada bedanya dengan lembaga penegak hukum lainnya. 

Dugaan cawe-cawe Jokowi di KPK juga diperkuat dengan pernyataan Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo, yang mengaku bahwa Jokowi pernah memerintahkan KPK untuk menghentikan kasus mega korupsi E-KTP yang menyeret Ketua DPR saat itu, Setya Novanto.

Teranyar, sorotan publik tertuju pada kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan keluarga Jokowi. Misalnya, dugaan penerimaan gratifikasi berupa pinjaman jet kepada Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep untuk perjalanan bersama istrinya ke Amerika Serikat (AS) dan pengurusan izin tambang yang diduga dimiliki menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang dikenal dengan kasus “Blok Medan”.

Karena itu, Jokowi berupaya menanamkan pengaruhnya di KPK agar rezim dan kroninya tidak diganggu dan diusut. “Saya pikir jelas, intervensi politik presiden pasti ada. Sebagai presiden yang akan lengser saya pikir sangat logis, sangat natural bagi Joko Widodo berupaya mendapatkan orang-orang yang bisa menjaga dia dari setiap tuduhan atau dugaan penyelidikan korupsi yang menyangkut pemerintahannya,” tutur Haripin.

Haripin juga pesimistis pimpinan dan komisioner baru KPK mampu membenani KPK dan mengangkat muruah komisi antirasuah. “Untuk komisioner yang baru, saya sesungguhnya skeptis mereka akan berbuat banyak dan membuat suatu langkah-langkah yang progresif terkait dengan pemberantasan korupsi karena sedari awal sudah tersandera oleh kepentingan politik,” ujarnya.

Dirinya memprediksi kepemimpinan Setyo Budiyanto hanya akan melanjutkan kinerja KPK terdahulu saat periode Firli Bahuri. “Alih-alih ada wacana, gebrakan, atau inisiasi kebijakan yang lebih mumpuni atau progresif dari KPK terkait pemberantasan korupsi, yang ada malah melanjutkan kemunduran yang berlangsung sangat parah sejak 2019,” tutur Haripin.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah INSIDER Edisi 1 Desember 2024 “Pimpinan KPK: Wajah Baru Perangai Lama”.