Dirgayuza: Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Bisa Dikebut Lewat Pembangunan AI Data Center


Potensi ekonomi digital perlu dimaksimalkan untuk mendukung program pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada periode 2024-2029.

Dalam diskusi IndoTelko Forum bertema ‘”Unlocking Digital Economy for 8% Growth” di Jakarta, Selasa (3/9/2024), Editor Buku ‘Strategi Transformasi Bangsa’, Prabowo Subianto, Dirgayuza Setiawan, mengungkapkan kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut.

“Jika kita hanya bergerak di kecepatan pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen, maka ‘pesawat’ Indonesia dengan 300 juta penduduk ini tidak akan take off. Oleh karena itu, dengan memahami tantangan ini, pilot kita Prabowo Subianto akan membawa terbang,” kata Dirgayuza.

Dirgayuza menyatakan bahwa salah satu strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen adalah dengan mendukung pembangunan pusat data (data center) yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI).

Dalam lima tahun ke depan, kapasitas data center dunia diperkirakan akan meningkat menjadi 95 GW dari yang saat ini 57 GW, dengan pasokan energi baru terbarukan (EBT) selama 24/7, yang saat ini sekitar 14 sen per Kwh.

Menurut Dirgayuza, kehadiran AI Data Center juga akan berdampak pada sektor lainnya. Sebagai contoh, Meta menggunakan 13 GW dari total 57 GW dan mereka juga berinvestasi dalam energi panas bumi (geothermal). Ini bisa menjadi peluang perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement) bagi perusahaan geothermal Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera.

“Tembaga sangat berkaitan dengan hal ini, sementara Indonesia sudah menggalakkan hilirisasi tembaga. Akibat AI, harga tembaga naik hingga 5 dolar AS per pound dan kebutuhan akan tembaga akan meningkat dalam lima tahun ke depan. Tembaga ini penting untuk kabel, terutama untuk data center, serta untuk kendaraan listrik (EV),” ungkapnya.

Lebih dari itu, Dirgayuza menekankan bahwa demi mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, dibutuhkan kebersamaan dan kolaborasi lintas sektor.

“Butuh kerja sama yang kuat antara swasta dan pemerintah. Semua pihak perlu duduk bersama dengan timeframe yang ketat,” ujarnya.

“Selain itu, kita harus berbicara dengan bahasa yang sama, yakni bahasa peluang. Kita harus melihat peluang global yang ada dan memahami kemampuan kita agar bisa mengajak para mitra untuk bertumbuh bersama Indonesia,” tambahnya.