Beberapa pekerja memeriksa seragam militer NATO yang siap diekspor Sritex, Sukoharjo, Jateng ke 18 negara. (Foto: Antara/Saptono)
Data pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 53 ribu pekerja per September 2024, dipastikan bakal bertambah dalam waktu dekat. Seiring keputusan pailit untuk PT Sri Rejeki Isman (SRIL/Sritex). Angka PHK bisa tembus 70 ribu pekerja.
Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri (PN), Semarang, Jawa Tengah (Jateng), resmi mempailitkan Sritel pada bulan ini. Di sisi lain, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan kreditur PT Indo Bharat Rayon yang mengajukan pembatalan perdamaian dalam gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) yang telah disepakati keduanya pada Januari 2022.
PT Indo Bharat Rayon adalah salah satu kreditur yang mengajukan gugatan PKPU, lantaran Sritex gagal bayar utang yang telah disepakati dalam restrukturisasi utang US$344 juta menjadi unsecured term loan berjangka 12 tahun.
“Majelis hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon dan membatalkan rencana perdamaian PKPU yang disepakati pada Januari 2022,” ujar Juru Bicara Pengadilan Niaga, Semarang Haruno Patriadi, dikutip Kamis (24/10/2024).
Selain pemilik Sritex, pekerjanya juga harus menanggung beban berat dari putusan pailit ini. Kalangan pekerja harus siap kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dan, jumlah pekerja di Sritex cukup banyak.
Pada Juni 2024, Sritex melakukan PHK kepada hampir 3.000 karyawannya. Atau setara 30 persen dari total pekerja Sritex sebanyak 10.000 pekerja.
Direktur Independen Sritex, Regina Lestari Busono pernah mengakui bahwa kinerja perseroan anjlok selama pandemi COVID-19 hingga 2023, cukup berat. Pesanan barang dari pasar luar dan dalam negeri, melemah. .
“Karena memang kondisinya di tahun 2023 itu cukup berat. Terlihat dari order yang turun cukup drastis,” ucap dia.
Masa jaya Sritex terjadi pada 2017. Kala itu, perusahaan tekstil yang didirikan HM Lukminto itu, mendapat order seragam militer untuk 30 negara. Termasuk 8 negara dari Eropa.
Selain itu, Sritex memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Tidak hanya itu, Sritex juga merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman.
Agar bisa menutup permintaan itu, Sritex relah merogoh kocek Rp2,7 triliun untuk perluasan pabrik di Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng).
Pada masa jayanya itu, Sritex berhasil membukukan laba bersih US$68 juta, atau setara Rp936 miliar. Setahun kemudian atau pada 2018, cuannya melesat menjadi US$84,56 juta. Tahun berikutnya naik lagi menjadi US$87 juta.
Barulah pada 2020, ketika pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia, kinerja Sritex berbaning terbalik. Mengalami pelemahan yang lumayan, laba anjlok US$85,32 juta. Setahun kemudian, neraca keuangan mencatatkan kerugian US$1,08 miliar atau setara Rp15,66 triliun.
Sejauh ini belum ada keterangan apapun dari pihak Sritex terkait putusan pailit yang dikeluarkan Pengadilan Niaga, Semarang.