Market

Dolar AS Mahal, Indef Ingatkan Kebangkrutan Negara karena Utang

Pandemi COVID-19 pada 2020. berdampak kepada melejitnya utang negara menengah-bawah. Kini, penguatan dolar AS berdampak kepada bengkaknya utang. Bahkan, sudah ada negara yang terkena krisis.

“Pada 2020, dunia dikejutkan dengan pandemi COVID-19 yang mengganggu seluruh sektor dalam kehidupan. Pandemi telah menyebabkan terganggunya aktivitas dan mobilitas masyarakat yang berujung pada krisis dan ekonomi di berbagai negara,” kata Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam Seminar Internasional dan Side Event G20 di Bali, Kamis (14/7/2022).

Gelontoran stimulus fiskal, kata Tauhid, selama pandemi membuat lonjakan utang secara masif dan menyeluruh di berbagai negara, khususnya negara berkembang. Alhasil, tingkat utang global melonjak tajam pada 2020. Berdasarkan IMF’s Global Debt Database, menunjukkan utang meningkat dari 28 persen ke 256 persen di 2020.

Total utang luar negeri (total external debt stocks) dan bunga pinjaman jangka panjang di negara menengah-bawah (low and middle income), lanjutnya, melonjak hampir 100 persen dalam satu dekade (2010-2020). Total utang luar negeri dari negara menengah-bawah melonjak dari US$4.360 miliar (2010) menjadi US$8.687 miliar (2020).

Dan, beban bunga utang jangka panjang ikut naik dari US$101 miliar (2010) menjadi US$207 miliar (2020). Negara-negara low and middle income pasca COVID-19 menghadapi tingkat utang, sekaligus bunga yang tinggi, sementara itu kondisi fiskalnya terbatas.

“Artinya, risiko utang luar negeri di negara low and middle income, meningkat. Ditunjukkan dengan peningkatan angka indikator utang seperti external debt stocks to exports, external debt stocks to GNI, dan debt service to exports,” bebernya.

Pada 2020, kata dia, external debt stocks to exports sebesar 123 persen, meningkat tajam dari 106 persen pada 2019. Sedangkan Indikator external debt stocks to GNI meningkat dari 27 persen (2019) menjadi 29 persen (2020) untuk negara menengah ke bawah.

Sementara debt service to exports, meningkat dari 16 persen (2019) menjadi 17 persen (2020). Peningkatan utang pada 2020 dibarengi dengan penurunan nilai nominal GNI, sehingga meningkatkan risiko utang di negara-negara low and middle income.

“Negara-negara low and middle income dengan peningkatan risiko utang banyak tersebar di Afrika dan Asia,” ungkap Tauhid.

Menurut data World Bank, negara-negara low and middle income dengan rasio debt to GNI lebih dari 100 persen pada 2020, di antaranya adalah Mongolia, Panama, Lebanon, Montenegro, Zambia, Mauritius, Mozambique, Jamaica, Georgia, Bhutan, Cabo Verde, Kyrgyz Republic, Angola, Tunisia, Kazakhstan, dan Armenia.

Sementara, berdasarkan sovereign debt vulnerability, ranking (peringkat kerentanan utang negara) yang dikeluarkan Bloomberg pada 2022, menilai empat aspek –yakni government bond yield, 5Y CDS Spread, Interest Expense, dan Government Debt, menunjukkan bahwa 10 negara paling rentan adalah El Savador, Ghana, Tunisia, Pakistan, Egypt, Kenya, Argentina, Ukraine, Bahrain, dan Namibia.

Penilaian dilakukan dengan mengeluarkan negara Sri Lanka dan Lebanon yang telah resmi gagal membayar obligasinya.

Negara-negara low and middle income punya utang besar kepada China sebesar US$170 miliar, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) sebesar US$204 miliar dan Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA) sebesar US$177 miliar pada akhir 2020.

Bank Dunia dalam buku International Debt Statistics 2022, menyatakan, kebanyakan utang negara-negara low and middle income dari China, berhubungan dengan proyek infrastruktur dan operasi pada industri ekstraktif. Negara-negara di sub-sahara Afrika menunjukkan peningkatan utang yang tajam terhadap China, sejak 2018.

Sementara untuk Asia Selatan, utang kepada China melonjak dari US$4.7 miliar (2011) menjadi US$36.3 miliar (2020). Dan, China menjadi negara pemberi utang terbesar untuk Maladewa, Pakistan, dan Sri Lanka.

Pengelolaan utang, transparansi utang, dan kerja sama internasional menjadi kunci penurunan risiko gagal bayar utang.

“Pengelolaan utang, transparansi utang, dan kerja sama internasional perlu dilakukan untuk membantu negara-negara low and middle income dari risiko gagal bayar utang,” ungkapnya.

Dia bilang, KTT G-20 melalui The Debt Service Suspension Initiative jilid 2 punya peran penting untuk membantu negara-negara low and middle income bisa keluar dari sandera utang.

“Pada April 2020 G-20 meluncurkan program The Debt Service Suspension Initiative untuk membantu negara miskin dan rentan dari low and middle income untuk mengelola dampak buruk dari pandemi COVID-19,” ujar Tauhid.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button