Dokter AS Beri Kesaksian Balita Gaza Ditembak di Kepala dan Dada


Dua dokter Amerika yang menjadi relawan di Gaza mengatakan mereka melihat dan merawat banyak anak dengan luka tembak di kepala dan jantung. Ini merupakan contoh terbaru kemungkinan kejahatan perang oleh militer Israel dalam konflik yang telah berlangsung selama sembilan bulan.

Dokter bedah ortopedi dan tangan Mark Perlmutter serta dokter bedah trauma dan perawatan Feroze Sidhwa menghabiskan waktu dua minggu menjadi relawan di sebuah rumah sakit di Gaza selatan selama bulan April dan Mei. Mereka bekerja sama dengan tim medis darurat beranggotakan 12 orang yang terhubung dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdiri dari berbagai profesional medis.

Dalam wawancara baru-baru ini dengan lembaga penyiaran Amerika CBS News, Perlmutter mengungkapkan bagaimana ia hampir secara eksklusif merawat anak-anak Palestina yang terluka akibat tembakan, pecahan bom, atau tertimpa bangunan yang runtuh. Berbicara di depan umum tentang pengalaman mereka, para dokter mengatakan mereka belum pernah menyaksikan penderitaan manusia sebesar di Gaza.

“Bersama-sama, dalam 57 tahun masa kerja sukarela, kami telah bekerja di lebih dari 40 misi bedah di negara-negara berkembang di empat benua. Kami terbiasa bekerja di daerah bencana dan perang, dan sangat dekat dengan kematian, pembantaian, dan keputusasaan. Semua itu tidak mempersiapkan kami untuk apa yang kami lihat di Gaza musim semi ini,” tulis Perlmutter dan Sidhwa dalam esai orang pertama untuk majalah AS Politico yang diterbitkan pada akhir pekan lalu.

Mereka juga bersaksi telah merawat banyak anak dengan luka tembak di kepala atau jantung. “Seseorang mungkin berpendapat bahwa seorang anak bisa saja terluka secara tidak sengaja dalam sebuah ledakan.. luka tembak di kepala adalah masalah yang sama sekali berbeda,” tulis mereka mengutip The New Arab (TNA).

Para dokter tersebut mengatakan bahwa mereka terpaksa bekerja di Gaza setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun di berbagai daerah bencana dan konflik di seluruh dunia. Mereka juga menambahkan, tidak satu pun dari mereka memiliki kepentingan politik apa pun terhadap hasil konflik Israel-Palestina – selain menginginkannya segera berakhir. Mereka menghabiskan dua minggu di Rumah Sakit Eropa di Khan Younis.

Rumah sakit itu, tulis mereka, sangat penuh sesak karena 1.500 orang dirawat di fasilitas medis berkapasitas 220 tempat tidur. “Kamar yang seharusnya menampung empat pasien terpaksa menampung 10 hingga 12 pasien,” kata mereka, seraya menambahkan bahwa 15.000 orang berlindung di halaman rumah sakit dan di dalam lorong, kamar mandi, dan lemari rumah sakit.

Rumah sakit tersebut terpaksa dievakuasi pada bulan Juli setelah adanya perintah Israel, yang memaksa pasien dan staf untuk keluar dan menutup salah satu dari sedikit pusat medis di daerah kantong itu. “Unit perawatan intensif berbau busuk dan kematian; koridor berbau seperti dapur yang penuh kotoran; halaman rumah sakit berbau limbah dan bahan peledak bekas. Hanya ruang operasi yang relatif bersih,” tulis mereka.

Serangan Israel yang dilakukan secara bertubi-tubi terhadap Gaza telah menyebabkan sistem kesehatan diserang secara rutin. Pusat-pusat medis dikepung dan ratusan dokter telah terbunuh dan ditangkap, sementara peralatan vital telah diblokir agar tidak masuk ke wilayah yang dikepung.

WHO melaporkan bahwa hanya 15 rumah sakit di wilayah tersebut yang “berfungsi sebagian” dan serangan massal baru-baru ini telah menyebabkan korban membanjiri pusat-pusat medis. Ada laporan tentang pasien yang tergeletak di lantai dan dokter yang tidak dapat merawat pasien dengan baik di tengah kekurangan obat-obatan yang parah.

Perlmutter juga berbagi pengalamannya di Gaza di televisi AS dalam sebuah wawancara dengan CBS News. Ia kembali mengatakan bahwa belum pernah melihat “tingkat pembantaian” terhadap warga sipil selama 30 tahun bekerja di lapangan. Ia mengatakan korban sipil hampir seluruhnya adalah anak-anak, yang seringkali terluka akibat tembakan penembak jitu.

“Saya punya pasien anak-anak yang ditembak dua kali,” katanya kepada presenter CBS Tracy Smith, yang kemudian bertanya kepadanya: “Tunggu, Anda mengatakan bahwa anak-anak di Gaza ditembak oleh penembak jitu?” 

“Pastinya,” jawabnya.

“Saya punya dua anak yang ditembak dengan sangat sempurna di bagian dada sehingga saya tidak bisa meletakkan stetoskop saya di atas jantung mereka dengan lebih akurat, dan langsung di sisi kepala anak yang sama. Tidak ada balita yang ditembak dua kali secara tidak sengaja oleh ‘penembak jitu terbaik di dunia. Dan tembakannya tepat sasaran.”

Kesaksian dokter tersebut menguatkan sejumlah saksi mata dari warga Palestina yang dikumpulkan selama perang, yang mengatakan mereka melihat tetangga dan kerabat ditembak di jalan oleh penembak jitu Israel.

Namun, laporan tersebut bertentangan dengan klaim tentara Israel untuk mengambil langkah-langkah mengurangi risiko membahayakan warga sipil dan bahwa hal itu dilakukan dalam batas-batas hukum internasional.

Perang tersebut telah menewaskan lebih sekitar 39.000 warga Palestina, 16.000 di antaranya anak-anak, dan melukai 90.000 lainnya sejak Oktober. Akibatnya, Gaza disebut-sebut memiliki jumlah anak yang diamputasi tertinggi di dunia.