Seorang dokter bedah Mesir memulai perjalanannya di Gaza pada Mei lalu, ditemani 19 dokter lainnya, sebagai bagian dari tim medis darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ia sempat pulang karena perintah tentara Israel namun nekat memilih kembali ke Gaza untuk melanjutkan kerja kemanusiannya .
Dengan energi yang tak kenal lelah, Mohamed Tawfiq, dokter bedah Mesir itu, bergerak di antara koridor Rumah Sakit Eropa Gaza untuk memeriksa pasiennya. Tawfiq, konsultan bedah retina, melakukan 33 operasi katarak di Rumah Sakit Eropa Gaza dalam kurun waktu 13 jam.
“Merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa, di tengah kondisi sulit di Gaza yang dilanda perang, karena kami biasa melakukan sepuluh operasi bedah dalam sehari,” kata Tawfiq kepada The New Arab (TNA).
“Terhitung mulai 1 Oktober lalu, kami telah melakukan operasi pengangkatan serpihan benda tajam dari mata, bola mata, dan retina, itu artinya ini merupakan kasus yang darurat,” ujarnya.
Kondisi yang dihadapi para dokter di Gaza sangatlah sulit. Tawfiq menjelaskan, “Kami mengalami kekurangan kemampuan medis, obat-obatan, peralatan medis, dan staf medis… namun kami bertekad untuk melanjutkan pekerjaan kemanusiaan kami bagi penduduk Jalur Gaza yang menderita.”
Tawfiq memulai perjalanannya di Gaza Mei lalu, ditemani 19 dokter, sebagai bagian dari tim relawan medis darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dokter Mesir itu memutuskan meninggalkan pekerjaannya di Mesir dan pergi ke Gaza untuk membantu meringankan penderitaan warga Palestina di daerah kantong pantai yang terkepung dan telah menjadi sasaran perang genosida Israel selama lebih dari setahun.
“Saat itu, saya melakukan sekitar 155 operasi mata hanya dalam waktu tiga minggu… namun sayangnya saya meninggalkan Jalur Gaza berdasarkan perintah dari tentara Israel untuk mengevakuasi Jalur Gaza segera sebelum penyeberangan Rafah ditutup.”
Tidak mudah bagi dokter tersebut untuk melihat kejahatan Israel di Jalur Gaza meningkat setiap hari. Ia harus melakukan sesuatu. Hal inilah yang mendorongnya untuk menghubungi WHO lagi untuk membantunya kembali ke daerah kantong pantai tersebut sesegera mungkin guna melanjutkan pekerjaan kemanusiaannya.
Ia juga mengatakan ingin kembali ke Gaza dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. “Sebagai seorang dokter, saya tidak dapat menjalani hidup normal sementara saya melihat puluhan ribu pasien di Jalur Gaza yang membutuhkan perawatan dan tidak ada seorang pun yang memberi mereka perawatan medis, terutama sejak tentara Israel membunuh sejumlah besar dokter Palestina,” ungkapnya.
Kasus Kritis di Gaza
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza, perang Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang menargetkan semua provinsi di Jalur Gaza, telah menewaskan lebih dari 42.500 warga Palestina dan melukai sekitar 100.000 lainnya. “Ketika saya kembali ke Gaza sekali lagi, saya terkejut dengan besarnya kerusakan yang dialami oleh mereka yang terluka akibat pemboman Israel,” kata dokter Mesir tersebut.
“Kami [para dokter] merawat banyak orang yang terluka karena ledakan mata mereka. Yang lainnya yang matanya terluka karena pecahan peluru dari rudal, sementara yang lainnya menderita ablasi retina dan pendarahan di dalam mata.”
“Setiap kali saya merawat orang yang terluka, saya bertanya-tanya bagaimana orang ini bisa bertahan hidup tanpa menemukan obat untuk menghilangkan rasa sakitnya… Situasi di Gaza tragis dan tidak seorang pun dapat membayangkan apa yang dialami warga Palestina karena perang ini,” tambahnya.
Tawfiq menekankan bahwa sektor kesehatan di Jalur Gaza menderita kehancuran yang hampir total akibat serangan tentara Israel terhadap sebagian besar rumah sakit, serta kurangnya bahan bakar dan listrik, diperparah dengan pembunuhan banyak personel medis oleh Israel.
“Kami bekerja sama dengan tim medis Palestina yang tersisa sesuai kemampuan yang kami miliki… Semua orang melakukan pekerjaan yang luar biasa, tetapi pekerjaan tersebut sangat melelahkan dan membutuhkan keterampilan yang sangat tinggi,” katanya.
Tawfiq menambahkan, para dokter mungkin dapat merawat penduduk setempat secara fisik dan memberi harapan untuk pulih, tetapi mereka tentu membutuhkan waktu berbulan-bulan dan mungkin bertahun-tahun untuk perawatan komplementer dan psikologis hingga tragedi yang mereka alami berakhir.
Kisah Dr. Tawfiq memicu banyak interaksi di media sosial, dan ia menjadi ikon di kalangan warga Palestina di Jalur Gaza. Ribuan warga Palestina di Gaza telah mengunggah gambar yang memuji dokter tersebut dan kesukarelaannya.
“Mereka adalah idola yang harus kita banggakan karena mereka mendukung kita dan berdiri di sisi kita dalam perang pemusnahan… Dokter yang terampil itu memberi kita harapan bahwa ada orang Arab yang peduli pada kita,” tulis Maria al-Atrash, seorang wanita Palestina di Gaza, di akun Facebook-nya.
“Mohammed Tawfiq tidak suka duduk di TV seperti kita semua yang menonton, tetapi dia mempertaruhkan nyawanya dan datang ke Gaza meskipun masalahnya mustahil dan situasinya serius, untuk menyembuhkan luka rakyatnya dan meringankan penderitaan mereka,” tulis Jihad Hilles, seorang pria lain yang tinggal di Gaza, di akun Instagram miliknya.