Nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS mengalami pelemahan dengan cukup signifikan khususnya setelah bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed mengumumkan soal ekspektasi suku bunganya di tahun depan.
Pada penutupan perdagangan Kamis (19/12/2024), rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan yang paling signifikan yakni sebesar 1,34 persen. Adapun ringgit Malaysia mengalami depresiasi sebesar 0,78 persen dan yen Jepang menurun 0,7 persen. Sementara won Korea Selatan terpantau menguat tipis sebesar 0,02 persen.
Tekanan terhadap mata uang di Asia terjadi setelah The Fed memberikan ekspektasinya terhadap suku bunga acuannya di 2025 yang tampak tidak seagresif sebelumnya.
Merujuk dot plot terbaru, dua pemotongan yang diekspektasikan pada 2025 ini hanya setengah dari target komite ketika plot tersebut terakhir diperbarui pada September dengan ekspektasi pemangkasan sebesar 100 bps pada 2025.
“Dengan langkah ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan stance kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami bisa lebih berhati-hati saat mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan kami.” ujar Ketua The Fed Jerome Powell di konferensi pers usai rapat.
Lebih lanjut, pejabat Fed menunjukkan dua pemotongan lagi pada 2026 dan satu lagi pada 2027. Dalam jangka panjang, komite memandang suku bunga ‘netral’ berada pada 3 persen, 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan pembaruan September, karena tingkat ini secara perlahan meningkat sepanjang tahun ini (3 persen vs 2,9 persen).
Hal ini membuat indeks dolar AS (DXY) menanjak dan menyentuh angka 108 yang merupakan posisi tertinggi sejak November 2022 atau sekitar dua tahun terakhir.
Ketika DXY berada di level yang sangat tinggi, maka hal ini akan membuat mata uang yang berpasangan dengan dolar AS menjadi terkoreksi.