Dosa Besar Sekolah, Kekerasan Seksual dan Perundungan Tanpa Akhir


Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan tumbuh, justru kerap menjadi arena kekerasan yang melukai fisik dan mental anak-anak. Tahun 2024 mencatatkan dosa besar yang terus diwariskan: kekerasan seksual dan perundungan yang tak kunjung usai.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis data yang memprihatinkan terkait kekerasan di lembaga pendidikan sepanjang tahun 2024. 

Berdasarkan laporan, tercatat 573 kasus kekerasan terjadi, meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 285 kasus. Tren ini menunjukkan bahwa rata-rata satu kasus kekerasan ditemukan setiap hari.

Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, mengungkapkan kekhawatirannya atas lonjakan kasus ini. 

“Kekerasan di lembaga pendidikan, terutama di sekolah, sudah menjadi masalah serius yang terus berulang setiap tahun. Data kami menunjukkan bahwa 64 persen kekerasan terjadi di sekolah, sementara 36 persen lainnya di madrasah dan pesantren,” kata Ubaid dalam keterangannya, Kamis (26/12)

Daerah dan Jenis Kekerasan Dominan

Dari data yang dirilis, Jawa Timur mencatat angka kekerasan tertinggi dengan 81 kasus (14,2 persen), diikuti oleh Jawa Barat (9,8 persen) dan Jawa Tengah (7,8 persen). Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual (42 persen) dan perundungan (31 persen), yang dikategorikan sebagai “tiga dosa besar” dalam dunia pendidikan.

1000137915.jpg

“Kekerasan seksual masih sangat mengkhawatirkan, dengan korban didominasi perempuan mencapai 97 persen. Sementara itu, mayoritas korban perundungan adalah laki-laki (82 persen). Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya merusak fisik, tetapi juga mental dan masa depan anak-anak kita,” jelas Ubaid.

Guru Mendominasi Pelaku Kekerasan

JPPI juga mencatat bahwa 43,9 persen pelaku kekerasan adalah guru, sementara 13,6 persen dilakukan oleh siswa. Sisanya melibatkan staf sekolah, petugas keamanan, bahkan masyarakat. 

“Ironisnya, guru yang seharusnya menjadi pelindung dan pendidik justru menjadi pelaku terbesar. Ini menunjukkan adanya krisis dalam sistem pendidikan kita,” tambah Ubaid.

Penanganan Kasus Masih Lemah

Meski kasus kekerasan meningkat tajam, JPPI menemukan bahwa penanganannya masih jauh dari memadai. Sebanyak 83 persen masyarakat tidak mengetahui keberadaan Satgas Pencegahan Kekerasan (TPPK), sementara 91 persen menyatakan ketidakpuasan terhadap mekanisme penanganan yang ada.

“Penanganan kasus kekerasan harus ditingkatkan melalui penguatan Satgas di sekolah serta melibatkan masyarakat dan orang tua. Selain itu, kampanye anti kekerasan di sekolah perlu diperluas agar siswa dan masyarakat sadar akan hak-hak mereka,” tegas Ubaid.

Kasus viral

Sepanjang tahun 2024, Indonesia dihadapkan pada berbagai kasus kekerasan di lingkungan sekolah yang menjadi sorotan publik. 

Berikut beberapa kasus yang paling menonjol:

1. Kasus Perundungan di Binus School Serpong: Pada Februari 2024, terungkap adanya kelompok siswa yang melakukan perundungan terhadap rekan sekelasnya. Kasus ini menjadi viral setelah korban melaporkan tindakan tersebut, memicu diskusi luas tentang budaya bullying di sekolah swasta ternama. 

2. Kekerasan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Kabupaten Bandung: Pada pertengahan Desember 2024, seorang siswa ABK dipaksa makan daging musang oleh teman-temannya. Insiden ini menyoroti kurangnya pemahaman dan empati terhadap siswa dengan kebutuhan khusus di lingkungan pendidikan. 

3. Kasus Perundungan Berujung Kematian di Subang: Seorang siswa kelas 3 SDN Jayamukti, Subang, meninggal dunia setelah mengalami perundungan oleh kakak kelasnya. Kejadian tragis ini memicu keprihatinan mendalam dan desakan untuk penanganan serius terhadap kasus bullying di sekolah dasar. 

4. Kekerasan Seksual oleh Ketua BEM Universitas Indonesia: Pada Desember 2023, Melki Sedek Huang, Ketua BEM UI, dituduh melakukan kekerasan seksual. Setelah investigasi, pada Januari 2024, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi skorsing satu semester. Kasus ini menyoroti isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. 

5. Kasus Perundungan Calon Dokter Spesialis di Undip: Kasus dugaan perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) menjadi sorotan nasional setelah meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari pada Agustus 2024. Dr. Aulia ditemukan tewas di kamar kosnya di Semarang, diduga akibat bunuh diri. Dalam buku harian yang ditemukan di lokasi, ia mengungkapkan tekanan mental yang dialaminya, termasuk perundungan dan pemerasan oleh seniornya. 

Tantangan 

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebelum dipecah menjadi tiga kementerian di era presiden Prabowo telah meluncurkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi kekerasan di sekolah. Salah satunya adalah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Kebijakan ini mengharuskan setiap sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus kekerasan.

Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan. Menurut data, 83% orang tua tidak mengetahui keberadaan TPPK di sekolah anak mereka. Lebih parah lagi, 91% masyarakat menyatakan tidak puas dengan penanganan kasus kekerasan yang dilakukan oleh sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan saja tidak cukup tanpa implementasi yang kuat dan pengawasan yang ketat.

Salah satu tantangan utama dalam menangani kekerasan di sekolah adalah lemahnya koordinasi antar lembaga. Kemendikbudristek tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan pemerintah daerah sangat diperlukan.

Selain itu, edukasi bagi para guru, orang tua, dan siswa juga menjadi kunci. Kesadaran akan bahaya kekerasan harus ditanamkan sejak dini, baik melalui kurikulum sekolah maupun kampanye publik. Program pelatihan bagi guru untuk menangani konflik tanpa kekerasan juga harus menjadi prioritas.

Rekomendasi JPPI

Untuk itu JPPI memberikan sejumlah rekomendasi, termasuk penguatan sinergi antara Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komnas Perlindungan Anak. 

Selain itu, Satgas Pencegahan Kekerasan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota perlu dievaluasi dan diperkuat, dengan pelibatan aktif masyarakat.

“Kami berharap pemerintah dan semua pihak terkait dapat mengambil langkah konkret untuk menghentikan siklus kekerasan ini. Pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan ramah bagi anak-anak kita,” tutup Ubaid.