DPR: Putusan MK Bikin KPK Tak Gamang Usut Rasuah Militer


Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan kasus korupsi yang dilakukan sipil dan militer, sepanjang kasus tersebut ditangani KPK sejak awal.

Dalam putusan atas uji materi nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan advokat Gugum Ridho Putra, MK menegaskan komisi antirasuah berwenang mengusut kasus korupsi di tubuh TNI, Kementerian Pertahanan, dan institusi keamanan lainnya hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono mengatakan, putusan MK bersifat mengikat (binding) untuk memberikan keleluasaan kepada KPK dalam mengusut kasus korupsi di lingkup TNI sekalipun memiliki peradilan militer. 

Menurut Dave, penegasan yang tercantum dalam putusan MK yang berbunyi “sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK” dinilai sebagai langkah agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara Pengadilan Militer dan KPK.

“Terkait itu di awal harus ada kepastian agar tidak terjadi overlapping antara ranah Peradilan Militer dan oleh KPK, termasuk penanganan awalnya. Di Pasal 42 UU KPK kan sudah menyatakan itu,” kata Dave Laksono ketika diwawancara Inilah.com pada Senin, 9 Desember 2024.

Dave mengatakan, putusan MK juga mensyaratkan KPK dalam melaksanakan tugasnya agar tetap dilakukan secara bersama-sama dengan pihak yang tunduk pada peradilan militer sejak awal kasus pidana ditemukan. Oleh sebab itu, KPK tidak punya kewajiban melimpahkan penanganannya kepada oditurat militer. 

“Di samping itu, perkara tindak pidana korupsi yang dimulai penanganannya oleh lembaga penegak hukum selain KPK maka tidak ada kewajiban bagi lembaga hukum lain tersebut untuk melimpahkannya kepada KPK. Jadi, sangat jelas penegasan yang dimaksud dipastikan tidak saling mengalahkan kewenangan siapapun,” ucap politisi Golkar tersebut.

Dave menilai kewenangan yang diberikan kepada KPK tidak akan menimbulkan polemik dan kegaduhan antara KPK dan TNI. Keduanya sempat berseteru pada 2023 lalu saat KPK menangani kasus rasuah yang melibatkan petinggi TNI dalam kasus korupsi Basarnas yang disinyalir merugikan negara sebesar Rp88,3 miliar.

TNI dalam hal ini Pusat Polisi Militer (POM) merasa tidak dilibatkan dalam penanganan kasus korupsi tersebut oleh KPK. Sikap KPK dianggap mengangkangi kewenangan TNI sehingga berujung pada permohonan maaf KPK. Putusan MK, lanjut Dave, akan membawa kejelasan terhadap penanganan kasus korupsi bagi pihak yang tunduk pada peradilan militer. 

“Pasal 42 akan lebih membawa kejelasan soal tindak pidana korupsi ini. Ketika di awalnya jelas, tegas, transparan serta akuntabel sesuai bunyi pasal tersebut maka prosesnya pun bisa dipastikan tidak ada ketimpangan satu sama lain. Dan jalur penanganan perkaranya pun akan jelas juga,” tuturnya.

Dave menyebut KPK akan menemukan tantangan saat pelaksanaan pasal 42 UU KPK. Pasalnya, terdapat dua subjek hukum yakni sipil dan TNI yang perkaranya dibagi menjadi dua. Yakni, kasus sipil ditangani KPK di Pengadilan Tipikor sementara kasus TNI disidang di Peradilan Militer.

“Barangkali kondisi tersebut bisa saja mengakibatkan potensi disparitas dan berdampak pada soal efektif dan efisiennya proses penanganan yang dilaksanakan,” ucap Dave. Ia juga menyoroti Peradilan Koneksitas yang tampak belum efektif dalam menangani kasus korupsi yang jamak dilakukan sipil bersama-sama TNI.

“Peradilan Koneksitas diharapkan akan mempercepat dan memudahkan koordinasi atau istilahnya tidak ‘ping pong’ tidak dibolak-balik. Lalu, akan tercipta transparansi dan akuntabel ya. Karena ketika pengusutan dilakukan secara bersama akan ada kesetaraan dalam penindakan. Tinggal komitmen kuat para pihaknya saja,” ujar Dave.

Ke depan, dirinya berharap agar KPK lebih tegas dan serius mengusut kasus korupsi tanpa pandang bulu. “Semoga ke depan KPK lebih berani melakukan terobosan penting dan TNI juga dapat melakukan transformasi strategis dalam rangka menjaga pertahanan dan kedaulatan negara baik dari segi personal maupun persenjataan,” katanya.

Dave juga meminta semua pihak menghormati putusan MK dan kewenangan yang diberikan negara kepada KPK. “TNI pastinya menghormati keputusan MK sebagai lembaga Negara yang berwenang untuk konstitusi,” tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi III Nasir Djamil menilai KPK memiliki kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap kasus korupsi yang dilakukan oleh TNI, Kepolisian, dan Kejaksaan sekalipun KPK tidak menangani sejak awal. “Jadi, meskipun (kasus korupsi) tidak ditangani sejak awal, KPK masih bisa melakukan pendampingan,” kata Nasir Djamil kepada Inilah.com pada Senin, 9 Desember 2024.

Nasir meyakini semua institusi negara akan menghormati putusan MK termasuk mengikuti arahan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan penegakan hukum korupsi tanpa pandang bulu. Putusan MK tersebut dinilai dapat memberikan kepastian hukum bagi KPK sehingga tidak ada pihak yang mempersoalkan penanganan korupsi yang dilakukan. 

Kendati begitu, tantangan yang dihadapi KPK dalam pengusutan kasus korupsi di lingkungan tentara adalah adanya psyco-war mengusut kasus korupsi yang melibatkan TNI. “(Lahirnya putusan MK) agar KPK tidak gamang dalam mengusut kasus tipikor di lingkungan TNI,” ujarnya. 

Meski KPK tengah mengalami kemerosotan kepercayaan publik, Nasir meyakini komisi antirasiah masih bisa untuk mengusut kasus korupsi di lingkungan TNI. Menurutnya, KPK bekerja dengan peraturan perundangan dan kelembagaan, bukan perorangan. “Jadi, tidak ada alasan untuk meragukan kredibilitas KPK dalam mengusut kasus korupsi di TNI,” singkatnya.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah INSIDER Edisi 15 Desember 2024Maruah KPK di Ranah Rasuah Militer”.