News

DPR Tegaskan MK Tak Berwenang Tentukan Sistem Proporsional Pemilu

Mahkamah Konsitusi (MK) gelar sidang gugatan uji materi sistem proporsional terbuka pemilu. Pihak perwakilan dari DPR pun turut dihadirkan, untuk menyampaikan pandangannya.

Anggota Tim Hukum DPR, Supriansa menyatakan MK tidak memiliki wewenang untuk menentukan sistem pemilu. Sebab, penentuan sistem pemilu, entah itu proporsional terbuka maupun proporsional tertutup, sepenuhnya merupakan pilihan terbuka (open legal policy) di tangan pembentuk Undang-Undang.

Karena, penerapan sistem proporsional terbuka sebagaimana termaktub dalam UU Pemilu tidak mengandung persoalan inkonstitusionalitas norma. “MK tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sistem pemilu karena hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) dengan memperhatikan partisipasi masyarakat,” kata Supriansa di sidang MK, Kamis (26/1/2023)

Supriansa juga turut menepis semua dalil para penggugat yang menyebut sistem proporsional terbuka mengakibatkan rumitnya penyelenggaraan pemilu, tingginya biaya pemilu, dan memunculkan potensi korupsi.

Menurutnya, berbagai dampak negatif yang muncul akibat pemilihan legislatif (Pileg) dengan sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari dinamika lapangan. “DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi pelaksanaan demokrasi dan bagian dari dinamika implementasi di lapangan,” tuturnya.

Ia pun turut menjelaskan berbagai dampak positif penerapan sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019. “Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen,” pungkasnya.

Diketahui, enam kader partai politik telah melayangkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem proporsional tertutup dalam perhelatan Pemilihan Legislatif 2024.

Mereka menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 18 ayat 1, pasal 22E ayat 3, dan pasal 28 D ayat 1.

“Menyatakan frase ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pihak pemohon sebagaimana dilansir dari website Mahkamah Konstitusi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button