Market

DPR Telisik Kemungkinan Duit APBN Nyemplung ke Gekraf Paris Fashion Show

Gaduh klaim brand lokal tampil di Paris Fashion Week ‘gadungan’ menuai cibiran dari banyak pihak. Muncul dugaan kegiatan ini dibiayai APBN.

Adalah Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian sangat menyayangkan oknum yang menunggangi nama besar Paris Fashion Week untuk kepentingan pribadinya. “Karena itu juga membawa nama kita (Indonesia), menjadi kurang baik. Tapi saya yakin ke depan memang produk-produk kita membutuhkan event-event dan momen-momen untuk memperkenalkan produk kita keluar, dan ini menjadi PR juga untuk pemerintah dan DPR,” ujar Hetifah, Kamis (17/3/2022).

Dirinya pun mengaku akan mengevaluasi apa benar kegiatan itu menghabiskan APBN dan tidak tepat sasaran. “Nanti kita evaluasi lah, karena kita juga pada saat ini membutuhkan kesempatan untuk ekspose. Walaupun dengan digital ekonomi yang sedang dikembangkan ini kita sebenarnya bisa saja memasarkan sesuatu tanpa menghadirkan fisiknya. Ini bahan evaluasi kita bersama supaya tidak terjadi lagi hal seperti ini,” tuturnya.

Kader Partai Golkar ini menerangkan, Gerakan Ekonomi Kreatif (Gekraf) bukan kegiatan atau program pemerintah. Namun tidak tertutup kemungkinan ada penggunaan dana dari APBN. Pengajar hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja menyesalkan bahwa Gekraf menggelar acara yang penamaannya justru mengundang protes dari Paris Fashion Week. “Alih-alih menciptakan brand baru yang membanggakan Indonesia, justru mencoreng nama Indonesia dan tidak produktif bagi dunia fashion dan industrinya di Indonesia,” ujar pendiri Synergy Policies.

Dirinya pernah melakukan studi kecil untuk menjajaki bentuk promosi yang disarankan oleh pelaku industri fashion, dan menemukan bahwa fashion itu ada ragam tingkatan kreativitas dan pangsa pasar. “Mulai dari fashion barang-barang konsumen yang sifatnya untuk diproduksi massal seperti pakaian dan kelengkapan aksesoris untuk sehari-hari sampai fashion yang sifatnya untuk diproduksi dalam jumlah terbatas agar unik dan harga jualnya terjaga tinggi,” tuturnya.

Ia mencontohkan produk fashion terbatas seperti haute couture, atau tenun ikat dan batik kualitas tinggi. Menurutnya masing-masing butuh bentuk promosi yang berbeda-beda. “Yang haute couture butuh fashion show tetapi kemasannya bisa diolah agar menguasai dulu pangsa pasar terdekat. Misalnya saja bisa dibuat fashion show tahunan untuk mendahului program penghargaan musik/film se-Asia seperti Mnet atau Asian Film Awards Academy, atau se-Indonesia. Tapi untuk produk-produk sehari-hari, yang penting justru kerjasama dengan berbagai brand-besar untuk menitipkan desainer-desainer Indonesia memproduksi sebagian koleksi musim panas atau musim semi misalnya,” ujarnya.

Dinna menjelaskan, bisa juga dikembangkan program promosi di kalangan kaum muda Indonesia di pentas-pentas seni sekolah. Cara ini bisa dilaksanakan karena sebenarnya sekolah-sekolah seni sebelum pandemi sudah punya program kunjung ke sekolah-sekolah.

Selain itu, dirinya menyerukan agar pemerintah semestinya juga perlu konsisten membesarkan nama Indonesia dan Fashion Weeknya. Ina Raya, desainer yang juga founder komunitas fashionpreneurindo menyayangkan jika kepergian para brand lokal hanya sekedar mengejar branding atau prestis saja. “Ini kembali pada kejujuran, kalau memang tidak ke PFW yang asli ya jangan pakai hastag PFW. Bukannya membanggakan tapi malah memalukan,” tuturnya.

Ina menyebut sayang sekali jika kepergian mereka hanya sekedar untuk prestis saja, dan tidak untuk branding. “Jika memang untuk branding produk Indonesia, oke saja, tapi harus dipersiapkan dengan matang,” kata Ina.

Ina bilang, Indonesia sudah punya Indonesian Fashion Week (IFW) yang prestisnya sudah mendekati PFW, dan hal ini tugas Kemenparekraf untuk lebih menggaungkannya lagi. “Saya yakin IFW bisa kok jadi ajang bergengsi sekelas PFW, apalagi Indonesia punya desainer-desainer bagus, yang kurang cuma publish ke luarnya saja. Ini yang harus ditingkatkan,” tuturnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button