Dugaan Korupsi Impor Beras, Celios Curiga Biaya Distribusi dan Sewa Gudang Juga Di-mark Up


Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda menyatakan, dugaan korupsi pengadaan impor beras perlu ditelisik lebih jauh. Menurutnya, ada peluang praktik mark up tidak hanya di harga impor beras saja, tapi juga ke urusan biaya distribusi dan ongkos sewa gudang.

“Tentu harus ditelisik lebih jauh untuk membuktikan kerugian negara dengan menambahkan margin keuntungan, biaya gudang, biaya distribusi, dan biaya lainnya,” ucap Nailul kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Kamis (4/7/2024).

Ia menyebut praktik tidak sehat ini sejatinya bukan barang baru, malah sudah jadi ladang cuan bagi para oknum pejabat bersama mafia impor.

“Namun memang impor beras ini menjadi gula bagi para importir beras, termasuk Bulog yang ‘menikmati’ margin yang cukup besar,” ujar dia.

Dugaan adanya mark up harga impor beras, ia nilai masuk akal. Nailul menjelaskan, bila proses impor menggunakan metode CIF atau biaya risiko yang ditanggung penjual, maka untuk beras per kilo-nya hanya ada di harga Rp8.595 dengan kurs Rp15.000.

“Sedangkan dalam dokumen realisasi impor, harga impor per kilo-nya mencapai Rp9.900. Sampai di tangan konsumen, HET mencapai Rp10.900 per kg. Biaya packing dan distribusi sampai ke konsumen Rp1.000 rupiah,” tuturnya.

“Jadi memang ada keuntungan yang besar dinikmati oleh Bulog. Ya mungkin biaya kompensasi dari Bansos beras kemarin,” ucap Nailul lagi sambil terkekeh.

Diketahui, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi diadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun. Keduanya juga dilaporkan dalam dugaan kerugian negara akibat demurrage (denda) impor beras senilai Rp294,5 miliar.

Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto yang melaporkan kasus ini menemukan indikasi praktik tak sehat di tubuh Bapanas dan Bulog. Hari menilai, dua lembaga yang bertanggung jawab atas impor beras ini tidak proper dalam menentukan harga, sehingga terdapat selisih harga beras impor yang sangat signifikan.

“Harganya jauh di atas harga penawaran. Ini menunjukkan indikasi terjadinya praktik mark up. KPK harus bergerak dan memeriksa Kepala Bapanas dan Dirut Bulog, ” ujar Hari Purwanto di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).

Dia mengungkapkan data yang menunjukkan bagaimana praktik dugaan mark up ini terjadi. “Ada perusahaan Vietnam bernama Tan Long Group yang memberikan penawaran untuk 100.000 ton beras seharga 538 dolar AS per ton dengan skema FOB dan 573 dolar AS per ton dengan skema CIF,” ucapnya.

Namun sejumlah data yang dikumpulkan menyebut, harga realisasi impor beras itu jauh di atas harga penawaran. Dugaan mark up ini juga diperkuat dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Maret 2024, Indonesia sudah mengimpor beras sebanyak 567,22 ribu ton atau senilai 371,60 juta dolar AS.

Artinya Bulog mengimpor beras dengan harga rata-rata 655 dolar AS per ton. Dari nilai ini, tutur Hari, ada selisih harga atau dugaan mark up senilai 82 dolar AS per ton.  

“Jika kita mengacu harga penawaran beras asal Vietnam, maka total selisih harga sekitar 180,4 juta dolar AS. Jika menggunakan kurs Rp15.000 per dolar, maka estimasi selisih harga pengadaan beras impor diperkirakan Rp2,7 triliun,” kata Hari.

Terkait demurrage, Hari menduga dugaan negara merugi Rp294,5 miliar, akibat tertahannya 490 ribu ton beras impor Bulog di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pada pertengahan hingga akhir Juni 2024. Atas dua aduan ini, Hari meminta KPK dapat segera memeriksa Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengadaan impor beras.

“Kami berharap laporan kami dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk Bapak Ketua KPK RI dalam menangani kasus yang kami laporkan,” tutur Hari.