Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mendorong aparat penegak hukum, baik itu KPK atau Kejagung, mengusut dugaan korupsi di PT Pupuk Indonesia.
“Harus ada investigasi artinya kan di situ ada persoalan tata kelola yang tidak transparan kan, tidak akuntabel jadi perlu ditindaklanjuti dari temuan itu ke aparat penegak hukum, entah Kejagung atau KPK,” ucap Trubus kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Rabu (19/3/2025).
Ia menduga bisa saja praktik korupsi yang terjadi sudah sejak lama berlangsung. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan, karena menurutnya, swasembada pangan akan sulit tercapai bila masih ada korupsi di sektor ini.
“Untuk swasembada pangan menjadi sulit sekali kalau modelnya seperti itu, artinya memang harus ada pembenahan semua apabila indikasinya ke sana,” tandasnya.
Sebelumnya, Etos Indonesia Institute menemukan adanya dugaan manipulasi laporan keuangan PT Pupuk Indonesia yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp8,3 Triliun. Kejaksaan Agung didesak segera memeriksa Direktur Utama dan Direktur Keuangan PT Pupuk Indonesia terkait dugaan manipulasi tersebut. Jika dugaan ini benar, akan menambah daftar panjang praktik korupsi di BUMN.
“Dugaan ini bukan sekadar opini, melainkan berdasarkan data yang kami peroleh. Oleh karena itu, kami mendesak Kejaksaan Agung, khususnya Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), untuk segera memeriksa Dirut dan Direktur Keuangan PT Pupuk Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Etos Indonesia Iskandarsyah, dikutip Senin (17/3/2024)
Dia mengapresiasi langkah Kejagung dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar seperti kasus PT Timah dengan dugaan kerugian negara Rp300 triliun dan Kasus PT Pertamina Patra Niaga.
“Dugaan kasus korupsi di PT Pupuk Indonesia ini juga harus segera diusut karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini bisa mengganggu program prioritas Pak Prabowo, swasembada pangan,” kata Iskandarsyah.
Lebih lanjut, Iskandarsyah mengungkapkan, berdasarkan audit independen, ditemukan adanya selisih laporan keuangan sebesar Rp8,3 triliun. Situasi ini diperburuk dengan temuan rekening yang tidak disajikan dalam neraca atau transaksi tunggal senilai hampir Rp7,98 triliun.
“Angka tersebut terdiri dari jumlah kas yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp707,87 miliar dan penempatan deposito berjangka sebesar Rp7,27 triliun,” ungkapnya.