Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, merespon kabar adanya dugaan lobi-lobi perkara Peninjauan Kembali (PK) antara eks Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming dan oknum Mahkamah Agung (MA).
Petrus merasa tidak aneh dengan kabar itu, sebab menurutnya , PK menjadi pintu masuk untuk oknum-oknum korup bermain.
“Karena pintu-pintu atau lorong-lorong gelap untuk transaksinya telah tersedia dan orang dalam dan orang luar bersinergi,” kata Petrus ketika dihubungi Inilah.com, Kamis (29/8/2024).
Petrus mengamati, praktik jual beli putusan perkara merupakan penyakit kronis dan sulit disembuhkan melanda aparat penegak hukum. Ia pun menyebut, praktik itu tidak hanya melibatkan oknum-oknum Hakim MA.
“Praktik ini melibatkan di lingkungan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman mulai dari Mahkamah Agung hingga hakim-hakim di tingkat bawah,” ucapnya.
Maka itu, Petrus menduga terpidana kasus Izin Usaha Pertambangan (IUP) itu merogoh kocek lebih agar putusan PK-nya diringankan oleh Majelis Hakim MA.
“Jalur PK diduga mematok harga yang paling mahal, karena kesempatan upaya hukumnya berkategori luar biasa, karena hanya satu kali maka harganya pun pasti harga premium atau eksklusif,” ucapnya.
Sebelumnya, diduga Mardani H Maming mengajukan PK ke MA secara diam-diam. Disinyalir agar menang, ada sejumlah petinggi MA yang coba-coba didekati.
Dari penelusuran Inilah.com, Mardani H Maming mendaftarkan PK ke MA pada 6 Juni 2024, bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004.
Ditunjuklah 3 hakim agung yang menangani PK ini, yakni Hakim Agung Sunarto sebagai ketua majelis, didampingi Ansori dan Prim Haryadi sebagai anggota majelis 1 dan 2.
Beredar informasi bahwa pimpinan majelis hakim agung ngotot membela Mardani H Maming. Bahkan siap mengurangi putusan hukuman 12 tahun penjara yang harus dijalani Mardani, terkait korupsi Izin usaha Pertambangan (IUP) Kabupaten Tanah Bumbu yang merugikan negara Rp110,6 miliar.
Sementara dua hakim agung lain yakni Ansori dan Prim Haryadi tak kalah ngototnya. Keduanya kompak menolak gugatan PK itu.
Di sisi lain, Wakil Ketua MA, Suharto diduga tidak independen. Dalam perkara ini, dia dikabarkan lebih berpihak kepada Mardani. Dengan terbelahnya suara di MA, menciptakan tarik-menarik yang cukup kencang di tubuh MA.
Saat dihubungi Inilah.com, Selasa (27/8/2024), Suharto buru-buru membantah informasi tersebut.
Dia menilai, setiap hakim agung di MA, punya independensi dan menjunjung tinggi kerahasiaan.
“Masing-masing hakim agung punya keputusan sendiri-sendiri, nanti bertemu untuk musyawarah sehingga keluar putusan. Dan, semua prosesnya rahasia. Istrinya pun enggak boleh tahu. Jadi bagaimana bisa disebutkan hakim ini, putusannya begini,” ungkapnya.
Selanjutnya, Suharto menjamin, keputusan hakim agung tidak bisa diatur-atur atau direncanakan. Karena itu tadi, prosesnya sangat rahasia.
Terkait PK yang diajukan Mardani H Maming, majelis hakim akan menimbang uraian memorinya, apakah sesuai hukum atau tidak. “Kalau enggak relevan ya ditolak, gitu saja,” ungkapnya.