News

Duh, Sistem Pemilu Indonesia Dianggap Tidak Ramah Perempuan

Sistem pemilu Indonesia dianggap tidak ramah perempuan. Argumennya sejak Pemilu 1999 hingga 2019 tingkat keterwakilan perempuan belum pernah mencapai 30% dari total anggota DPR.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, kondisi tersebut terjadi akibat partai politik (parpol) dan penyelenggara negara belum memberi akses luas bagi perempuan untuk berpolitik. Indikatornya dapat dilihat dari sedikitnya caleg perempuan mendapat nomor urut 1.

“Reformasi sistem politik, kepartaian, dan pemilu harus terus didorong agar adil dan ramah gender,” ujar Titi, di Jakarta, Jumat (22/4/2022).

Titi membeberkan tingkat keterpilihan berdasarkan nomor urut sangat menentukan. Hal itu dapat dilihat dari hasil Pemilu 2019.

Caleg nomor urut 1 pada Pemilu 2019 didominasi laki-laki sebanyak 308 orang yang lolos ke Senayan. Sedangkan perempuan yang mendapat nomor urut 1 hanya 57 orang.

Caleg nomor urut 2 yang menjadi wakil rakyat 80 laki-laki dan 29 perempuan. Caleg nomor urut 3 terdiri atas 14 laki-laki dan 15 perempuan, nomor urut 4 terdiri 22 laki-laki dan 5 perempuan, nomor urut 5 sebanyak 16 laki-laki dan 5 perempuan.

Selanjutnya caleg nomor urut 6 terdiri ats 2 laki-laki dan 6 permpuan, nomor urut 7 sebanyak 8 laki-laki dan 1 perempuan. Perempuan yang menempati urutan nomor 8-10 tidak ada yang terpilih.

“Kami tetap ingin mewujudkan perjuangan 30% afirmasi. Jadi, perjuangan para calon anggota legislatif dan anggota legislatif perempuan itu memang luar biasa,” tuturnya.

Afirmasi 30% persen perempuan tidak pernah tercukupi sepanjang pemilu yang digelar pascareformasi. Pemilu 1999 hanya 45 perempuan atau 9% dari total anggota legislatif.

Pemilu 2004 meningkat menjadi 11% (61 orang). Pada Pemilu 2009 meningka signifikan sekitar 18,4 persen (101 orang), namun turun pada Pemilu 2014 menjadi 17,6 persen (97 orang).

Pemilu 2019, lanjut Titi kembali naik hingga 20,5 persen (118 orang). Disinggung dengan potensi raihan Pemilu 2024, Titi menilai hal itu sangat bergantung dari keterbukaan parpol untuk menyinergikan modal loyalitas pemilih perempuan.

“Yang membuat kaum hawa bertahan adalah konsistensi dalam perjuangan. Kalau bukan kami, siapa lagi,” katanya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button