Market

Alokasikan Lahan Pulau Rempang 16.500 Ha, BP dan Pemkot Batam Maladministrasi

Warga adat Pulau Rempang menggelar upacara tolak bala sekaligus memberikan gelar panglima kepada 8 pemuda Rempang yang sempat ditahan. (Foto: TV-OneNews).
Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi dilakukan BP Batam dan Pemkot Batam (Pemkot Batam) terkait pengusiran warga Kampung Tua di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepri.

Hal itu dikutip dari keterangan resmi anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro yang dipublikasikan di website Ombudsman RI, Jakarta, ikutip Selasa (19/9/2023).

Mungkin anda suka

Temuan potensi maladministrasi, kata Johannes, disimpulkan setelah Ombudsman meminta keterangan sejumlah pihak terdampak, serta investigasi ke lapangan terhadap keberadaan Kampung Tua yang merujuk Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam.

Kata Johannes, saat ini, terdapat 16 kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang. Yakni, Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Berdasarkan temuan Ombudsman, lanjutnya, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), telah mencadangkan lahan Pulau Rempang, seluas 16.500 hektare (ha). Lahan tersebut akan dikembangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023, menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata bernama Rempang Eco City.

Terhadap pencadangan alokasi lahan itu, menurut Johanes, jelas melanggar aturan. Karena, lahan tersebut belum dikeluarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.

“Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum,” ujar Johanes.

Karena masalah itu, Ombudsman, kata Johanes dengan tegas menentang segala bentuk represifitas yang dilakukan aparat kepolisian serta TNI, dalam melakukan pengamanan di Pulau Rempang. Turunnya ribuan aparat gabungan, disertai penggunaan gas air mata dalam merespons penolakan masyarakat, justru akan membuat konflik membesar.

“Masyarakat di Pulau Rempang sangat terdampak dengan konflik yang terjadi akibat upaya relokasi masyarakat karena merasa terintimidasi. Ketakutan untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan maupun anak-anak yang takut bersekolah karena adanya aparat di perkampungan mereka,” katanya.

Ia mengatakan, berdasarkan penelusuran Ombudsman, masyarakat di 10 Kampung Tua yang ada di Pulau Rempang, sejatinya mendukung investasi di Pulau Rempang. Namun, mereka menolak relokasi. Mereka lebih mendukung apabila investasi dilakukan melalui penataan Kampung Tua.

“Sosialisasi yang dilakukan BP Batam masih tergolong belum masif dan butuh waktu yang lebih lama untuk berupaya meyakinkan masyarakat mau direlokasi atau berdialog untuk mencari jalan tengah,” jelas Johanes.

Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang serta pihak terkait lainnya untuk mengatasi masalah itu.

Selanjutnya, Ombudsman akan menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa Tindakan Korektif untuk dilaksanakan pihak terlapor.

“Proyek Strategis Nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Untuk itu Ombudsman akan melakukan proses pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak,” ujar Johanes.

Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang, apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.

Kawasan Rempang akan dikembangkan menjadi Rempang Eco City. Namun, belakangan ini pengembangan terganjal oleh konflik agraria yang timbul karena masyarakat di sana menolak untuk direlokasi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button