Efek Jokowi Tabrak Aturan, Pilpres 2024 Disebut Paling Brutal Sejak Reformasi

Pendiri PolMark Research Centre Eep Saefulloh Fatah menyebut, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 merupakan agenda pemilihan paling brutal sejak reformasi bergulir di Tanah Air tahun 1998. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berani menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres).

“Beberapa hal umum yang pertama saya menyaksikan Pak Jokowi ingin menang tetapi tidak ingin menggunakan cara demokrasi. Ini kesimpulan yang pertama. Saya bisa salah, tetapi sejauh ini itulah kesimpulan yang tepat yang bisa saya rumuskan,” kata Eep dalam acara ‘Ngobrolin People Power 14 Februari 2024 Bersama Masyarakat Jurdil di TPS’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2024).

Dia menjelaskan, kemenangan masif yang didapatkan Jokowi mulai dari Pilkada Solo 2005 dan 2010, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 hingga Pilpres 2014 dan 2019 menunjukkan masyarakat memihaknya. Akan tetapi, puncak kejayaan Jokowi tidak bisa dilanjutkan melalui wacana tiga periode lantaran terhambat aturan konstitusi.

“Saya tidak perlu berdebat tentang ini karena Pak Jokowi sudah mengakui,” katanya.

Lebih lanjut, Eep memaparkan kesimpulan kedua mengenai ada keterlibatan presiden yang sangat jauh. Keterlibatan ini tampak kala Jokowi memilih posisi sebagai petahana di pemerintah dengan mengerahkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk berkontestasi dalam Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, Pilpres 2024 sendiri seharusnya merupakan cerminan dari Pilpres 2014 yakni  tidak ada capres petahana di dalamnya.

“Ketika ingin menang tetapi tidak ingin menggunakan cara demokrasi berjalan ada yang salah dengan sistem, mekanisme, aturan insitusi politik yang kita miliki. Ini harus dibenahi,” ujar Eep menegaskan.

Aksi Presiden Jokowi lantas memporak-porandakan demokrasi yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi. Bahkan, Eep menyebut, betapa pentingnya pembatasan kekuasaan presiden jika melihat kondisi pemerintahan sekarang.  

“Ternyata presiden yang sudah tidak bisa dipilih lagi bisa melabrak banyak aturan kemudian membahayakan kesehatan pemilu dan demokrasi, maka harus ada pembatasan kekuasaan presiden,” ucapnya.

Apalagi, pernyataan Jokowi mengenai diperbolehkannya presiden dan para menteri berkampanye dianggap blunder. Inilah yang mempertegas jika Jokowi membenarkan dirinya menabrak aturan konstitusi.

“Jokowi, presiden dan Kepala Negara itu tiga entitas yang tidak bisa dipisah dengan gampang. Ketika caleg memasang foto Jokowi, maka harus cuti karena kalau ada foto di baliho yang bersangkutan berpihak. Ketika berpihak berlaku aturan yang membatasinya. Ketika tidak cuti, terlanggarlah aturan itu,” ujarnya.

Dengan demikian, Eep menyatakan, tindakan Jokowi dalam menabrak aturan demi melanggengkan kekuasannya melalui Pilpres 2024 menunjukkan brutalitasnya. Ditambah, Jokowi juga menantang orang untuk berpikir waras untuk punya keberanian melawan ketika kekuasaan yang pongah dan kuatnya itu ada dan konkret

Sumber: Inilah.com