Keputusan politik tak pernah terjadi dalam ruang hampa. Ketika Gedung Putih memilih untuk menunda pemberlakuan tarif baru selama 90 hari untuk sebagian besar negara, tetapi secara bersamaan Presiden AS Donald Trump justru menaikkan tarif atas barang-barang asal China dari 104 persen menjadi 125 persen, yang terjadi bukan sekadar respons kebijakan dagang.
Itu adalah pergeseran psikologis pasar global dan seketika menghidupkan kembali semangat investor yang selama berminggu-minggu terjebak dalam spiral pesimisme.
Hasilnya, lonjakan dramatis di bursa saham AS. S&P 500 melonjak 9,5 persen, sementara Nasdaq terbang lebih dari 12 persen, mencatatkan reli harian terbesar sejak 2008.
Ini bukan hanya pantulan teknikal akibat kondisi oversold, tetapi ledakan harapan yang selama ini terpendam.
Kata ‘penundaan’ menjadi komoditas paling berharga bagi pasar. Bukan karena tarif yang ditunda itu sendiri, tetapi karena penundaan itu menunjukkan bahwa kekuasaan, dalam hal ini pemerintahan Trump, masih bersedia mendengar detak jantung pasar.
Ini adalah pengakuan implisit bahwa volatilitas pasar keuangan tetap menjadi variabel yang tidak bisa diabaikan dalam penentuan arah kebijakan.
Goldman Sachs pun merespons dengan cepat, mencabut proyeksi resesi mereka dan kembali ke perkiraan pertumbuhan positif. Ketika lembaga sekelas Goldman mulai melihat cahaya di ujung terowongan, itu bukan pertanda biasa, itu peringatan bahwa fase berikutnya telah dimulai.
Dalam pergerakan bursa semalam, saham teknologi, seperti biasa, menjadi ujung tombak. Nvidia melonjak hampir 19 persen, Apple 15 persen, dan sektor otomotif dalam S&P 500 melesat lebih dari 20 persen dalam satu hari kenaikan terbesar dalam sejarahnya.
Histeria Kolektif
Fase pemulihan tidak boleh disambut dengan histeria kolektif. Justru dalam gejolak seperti inilah peluang struktural terbentuk secara diam-diam.
Investor jangka menengah dan panjang perlu melihat situasi ini bukan sebagai pertunjukan satu malam, tapi sebagai awal babak baru.
Aset-aset berkualitas tinggi dengan fundamental kuat yang sempat terdiskon karena tekanan emosional kini siap untuk dikoleksi secara bertahap.
Sektor seperti infrastruktur, energi, bank besar, dan pertambangan, yang secara langsung terdampak tarif namun punya daya saing global, akan menjadi panggung utama dalam pentas pemulihan ini.
Bukan karena mereka sudah naik, tapi karena mereka terluka bukan oleh kelemahan bisnis, melainkan oleh kebijakan yang kini mulai disesuaikan kembali.
Di saat yang sama, fleksibilitas menjadi kunci dalam jangka pendek. Menyisihkan sebagian dana dalam bentuk kas, mengurangi posisi pada saham-saham yang sudah terlalu panas, dan memanfaatkan koreksi berikutnya sebagai kesempatan membangun posisi di aset inti bukan hanya langkah bijak, tapi keniscayaan.
Data CPI dan laporan keuangan kuartal pertama akan menjadi pengujian berikutnya, apakah reli ini punya kaki untuk berjalan lebih jauh, atau hanya pelarian sesaat.
Sementara itu, emas memberi sinyal yang lebih halus. Naiknya harga emas spot ke US$3.085 per ons, meskipun hanya 0,07 persen menunjukkan bahwa kehati-hatian belum sepenuhnya pergi.
Emas tetap menjadi tempat perlindungan. Fakta bahwa harga emas bertahan di dekat level tertinggi sepanjang sejarah mencerminkan satu hal bahwa investor belum siap mengucapkan selamat tinggal pada risiko.
Yang tak kalah menarik adalah reaksi regional. Bursa Asia juga bangkit, Nikkei naik 8,94 persen, Straits Times 5,31 persen, Hang Seng 2,44 persen, dan Shanghai Composite 1,39 persen.
Efek domino ini bukan hanya cerminan korelasi teknikal, tapi representasi bahwa pasar global, terlepas dari geopolitik yang memanas, mulai mengevaluasi ulang asumsi terburuk mereka.
Dalam bahasa pasar, risk-off mulai kehilangan momentum. Uang yang lari karena panik akan kembali. Bukan karena masalah telah hilang, tapi karena kepanikan sudah dianggap berlebihan.
IHSG Rebound
Di Indonesia, lonjakan 5,07 persen pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (10/4/2025) menjadi bukti bahwa pasar domestik pun merespons sinyal global dengan cukup antusias.
IHSG sejak Kamis pagi bergerak naik signifikan seiring pelaku pasar merespons positif penundaan implementasi tarif impor oleh Trump.
Nilai transaksi mencapai Rp9,6 triliun, dengan 568 saham menguat. Sektor energi, konsumsi, keuangan, hingga infrastruktur ikut melonjak. Ini lebih dari sekadar pantulan. Ini adalah momen rekonstruksi optimisme.
Tercatat IHSG dibuka menguat signifikan 302,62 poin atau 5,07 persen ke posisi 6.270,61. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 44,78 poin atau 6,69 persen ke posisi 714,15.
“IHSG hari ini rebound mengikuti pergerakan bursa AS karena melemahnya tensi perang dagang setelah Presiden Trump menunda pengenaan tarif 90 hari, kecuali untuk China,” ujar Head of Retail Research BNI Sekuritas Fanny Suherman.
Dengan Bank Indonesia (BI) yang kembali menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas rupiah, dan strategi buy on weakness pada saham-saham blue chip yang terbukti efektif, masa depan pasar saham Indonesia bukan hanya menjanjikan, ia sedang dibangun, batu demi batu, di atas fondasi yang justru diperkuat oleh gejolak itu sendiri.
Jika satu hal dapat disimpulkan dari semuanya ini, maka itu adalah dalam dunia investasi, momen-momen yang tampak menakutkan bagi mayoritas justru adalah peluang bagi mereka yang siap untuk berpikir berbeda. [Antara]