Efisiensi Hijau di Tengah Gonjang-ganjing Ekonomi Global


Kebijakan Presiden Donald Trump telah menciptakan ketegangan dalam lingkup perdagangan global. Agresivitas Presiden Trump dalam menentukan tarif perdagangan juga diiringi langkah mundur dalam komitmen iklim, dengan menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris serta melonggarkan regulasi emisi industri. Padahal, dunia kian menua dan risiko iklim merupakan kenyataan yang bisa berdampak besar pada bentuk permukaan bumi di kemudian hari.

Itu artinya, dengan atau tanpa Amerika, pembangunan berbasis prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) tetap relevan dan bahkan semakin penting. ESG bukan hanya soal menjaga lingkungan, tetapi juga menyangkut efisiensi, keberlanjutan sosial, dan tata kelola yang transparan sebagai fondasi penting bagi daya saing jangka panjang di tengah ketidakpastian global.

Indonesia memiliki peluang untuk terlibat dalam keberlanjutan tanpa harus mahal. Bahkan lewat efisiensi internal dan inovasi sederhana, industri nasional bisa berdiri lebih kokoh di tengah badai global yang mungkin kembali datang. Selama ini, banyak pelaku industri di Indonesia terjebak dalam asumsi klasik: untuk menjadi hijau, perusahaan harus berinvestasi besar, melakukan revitalisasi total terhadap infrastruktur, atau membeli teknologi terbaru.

Padahal, di balik kesuksesan banyak perusahaan dalam mendorong transformasi keberlanjutan, yang paling mendasar bukanlah “besarannya investasi”, melainkan ketepatan strategi manajemen operasional—terutama dalam kondisi fasilitas yang sudah usang atau belum direvitalisasi.

Berbagai laporan nasional menguatkan bahwa pendekatan low cost, high impact bukan sekadar teori, melainkan telah menjadi solusi nyata yang diterapkan industri dalam negeri. Menurut laporan Kompas.com (2023), beberapa pabrik di sektor industri hijau mampu menghemat energi hingga 20% tanpa harus mengganti mesin, cukup dengan perubahan pengaturan operasional yang efisien.

Laporan lain memperlihatkan bahwa industri manufaktur dan logistik nasional berhasil menurunkan emisi dan biaya operasional melalui pendekatan efisiensi manajemen tanpa perlu investasi besar (Bisnis.com, 2024). Tak ayal, ESG kini tidak cukup hanya sebatas kepatuhan administratif, namun harus berdampak nyata, sejalan dengan fokus para investor global yang mulai memprioritaskan outcome keberlanjutan, bukan sekadar dokumen formal.

Strategi Berbasis Pareto dan Manajemen Proses

Strategi keberlanjutan yang cerdas dimulai dengan memahami apa yang benar-benar penting untuk diubah. Prinsip Pareto mengajarkan kita bahwa dalam sebuah sistem, sekitar 20% faktor menyumbang 80% dampaknya. Maka, manajemen harus mampu mengidentifikasi akar masalah yang paling menentukan performa ESG mereka.

Laporan Bappenas (2023) menyatakan bahwa hanya sekitar 29% perusahaan industri Indonesia yang memiliki sistem manajemen energi berbasis proses. Sisanya masih terpaku pada pendekatan “hardware-centric”—mengandalkan pembaruan alat tanpa perbaikan cara kerja. Padahal, efisiensi justru banyak tersembunyi di balik pengaturan jam kerja, penjadwalan pemeliharaan mesin, atau reorganisasi tata letak gudang.

Contohnya, pabrik kemasan di Sidoarjo yang masih menggunakan fasilitas produksi era 1990-an mampu memangkas konsumsi listrik sebesar 17% hanya dengan mengatur ulang pola shift, menyesuaikan waktu operasional dengan beban puncak PLN, dan melatih operator untuk menghindari idle machine time. Tanpa revitalisasi fisik, efisiensi tetap bisa dicapai—karena yang dibenahi bukan alatnya, melainkan manajemennya.

Selain itu, sebuah perusahaan industri pangan di DKI Jakarta berhasil mengoptimalkan fasilitas produksi yang cukup usang dengan fokus pada manajemen operasional dan rantai pasok. Dalam satu tahun, biaya pabrikasi, penyimpanan, dan distribusi dapat diturunkan hingga 35%, limbah turun 63,36%, dan kinerja produksi meningkat hingga 20%. Hasil ini merupakan pencapaian tertinggi sejak perusahaan berdiri tahun 1960-an.

Hemat di Fasilitas Usang: Bukan Mustahil

Salah satu kekeliruan umum dalam proyek keberlanjutan adalah terlalu cepat menyalahkan kondisi sarana prasarana. Memang benar, fasilitas usang punya keterbatasan. Namun, keterbatasan itu justru bisa menjadi pemicu inovasi manajemen.

Menurut OECD Report on Sustainable Infrastructure in Indonesia (2024), banyak fasilitas industri yang belum direvitalisasi tetap mampu mencapai perbaikan performa ESG hanya dengan menerapkan Lean Management + ESG Mapping. Pendekatan ini menyasar optimalisasi proses (bukan alat), seperti mengurangi pemborosan material, mengefisienkan jalur pergerakan barang, dan memetakan proses kerja yang menghasilkan limbah tinggi.

Contoh lainnya datang dari industri logistik di Jawa Barat. Sebuah gudang distribusi milik koperasi daerah berhasil menurunkan konsumsi bahan bakar forklift hingga 23% hanya dengan mengubah layout penyimpanan barang dan merancang ulang urutan bongkar muat. Strategi low cost, high impact seperti ini terbukti memberikan multiplier effect tanpa pengeluaran besar.

Laporan Bisnis.com (2023) juga menegaskan bahwa pendekatan berbasis efisiensi manajemen kini makin banyak diadopsi pelaku usaha dalam negeri sebagai respons terhadap tekanan biaya sekaligus tuntutan keberlanjutan.

Dari Dokumen ke Dampak

Masalah lain yang tak kalah penting adalah cara ESG didefinisikan di Indonesia. Banyak perusahaan fokus mengejar kepatuhan administratif: mengisi laporan ESG, mengikuti standar tertentu, tetapi tidak memaksimalkan dampaknya dalam proses inti.

Padahal lembaga pemeringkat ESG internasional seperti MSCI, Sustainalytics, FTSE4Good, dan ISS ESG menilai performa ESG berdasarkan material impact terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola—bukan sekadar kepatuhan formal.

Indonesia mulai dilirik karena pendekatan ESG berbasis dampak mulai berkembang. Laporan CNBC Indonesia (2024) menyoroti bahwa perusahaan yang hanya fokus pada dokumen tapi mengabaikan aksi nyata mulai ditinggalkan investor. Sebaliknya, perusahaan dengan strategi ESG yang nyata dan kontekstual justru mendapatkan skor tinggi dalam indeks ESG global.

Data Bank Indonesia (2024) menyatakan bahwa industri yang menerapkan prinsip ESG mengalami peningkatan efisiensi energi hingga 20% per tahun dan menarik lebih banyak investor hijau. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga soal keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

Yang dibutuhkan hari ini adalah leadership yang cerdas, tim manajemen yang reflektif, dan keberanian memulai dari proses terkecil namun paling berdampak.

Strategi low cost, high impact adalah pendekatan paling masuk akal dan relevan untuk industri Indonesia saat ini. Ketika revitalisasi fisik sulit dilakukan karena keterbatasan modal, manajemen operasional yang presisi menjadi solusi utama. Dengan begitu, ESG bukan beban tambahan, melainkan arah masa depan bisnis yang menentukan daya saing industri Indonesia di panggung global.