Market

Ekonomi Indonesia Digoyang Inflasi Dunia, Ekonom Senior: Kuncinya di Bank Indonesia

Jauh-jauh hari, IMF telah mengingatkan akan anjloknya pertumbuhan ekonomi sejumlah negara maju. Termasuk Bank Dunia mengoreksi perekonomian global dari 4,1 ke 3,2 persen. Hal ini jelas menjadi tantangan serius bagi pemerintah.

Disampaikan ekonom senior INDEF, Prof Didik J Rachbini dalam seminar daring bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Jakarta, Rabu (15/6/2022). Koreksi dari dua lembaga kredibel itu, tentunya perlu dicermati. Mereka berpatokan kepada tingginya inflasi di negara maju yang berkontribusi jumbo terhadap perekonomian dunia.

“Peningkatan inflasi global disebabkan oleh meningkatnya harga sumber energi dan harga komoditas lainnya, sejak akhir 2021. Peningkatan harga-harga tersebut diperparah dengan pecahnya perang Rusia dan Ukraina,” beber Prof Didik.

Dia mengingatkan, Inflasi global yang tinggi menekan pertumbuhan ekonomi dan menghambat pemulihan ekonomi. Peningkatan inflasi yang terus menerus bakal menghantam konsumsi rumah tangga.

“Dengan berkurangnya nilai riil dari uang yang dalam genggaman masyarakat. Infasi akan semakin berdampak buruk jika tidak diikuti peningkatan upah atau gaji yang sebanding,” terang Rektor Universitas Paramadina ini.

Di sisi lain, menurut pria kelahiran Pamekasan (Madura) pada 2 September 1960, lonjakan inflasi juga menghambat laju investasi. Lantaran, bank sentral mengantisipasi inflasi dengan mengerek suku bunga.

“Respons kebijakan moneter untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan, pada akhirnya memukul investasi. Khususnya investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) ke negara berkembang. Karena, modal asing cenderung lari ke negara-negara asalnya. Atau lari ke aset yang lebih aman seperti dolar AS,” kata mantan anggota DPR asal PAN ini.

Selain itu, lanjut Didik, suku bunga tinggi berdampak kepada biaya tinggi. Alhasil, investor akan berpikir panjang untuk membangun bisnisnya di Indonesia. Di lain sisi, peningkatan inflasi membuat banyak negara melahirkan neraca pembayaran yang negatif. Alhasil, berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.

“Peningkatan suku bunga BI akan mendorong tingkat bunga kredit di dalam negeri. Di tingkat global, penerbitan surat utang akan menjadi lebih mahal. Karena, naiknya suku bunga acuan The Fed mendorong nilai pengembalian (yield) menjadi lebih besar,” kata Didik.

Kondisi ini, menurutnya, bisa menambah beban fiskal serta mempersempit ruang gerak fiskal untuk belanja perlindungan sosial, pembiayaan hijau, pemulihan ekonomi. Ujung-ujungnya, negara berkembang dan menengah ke bawah, bakal menjadi korban atas mahalnya pembiayaan.

“Ya berdampak kepada utang mereka akan semakin membengkak. Itu membuat mereka semakin rentan terhadap guncangan ekonomi. Di sini lah mungkin isu pengurangan atau bahkan pengampunan utang bagi negara-negara berkembang, patut kita pertimbangkan,” ungkapnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button