Market

Ekonomi Lebih Kuat Ketimbang Sri Lanka, Pakar: Indonesia Belum Aman dari Krisis

Ekonomi Lebih Kuat Ketimbang Sri Lanka, RI Belum Aman dari Krisis

Hari-hari ini, adu argumentasi soal peluang Indonesia bakal menyusul Sri Lanka, begitu hebat. Bahkan, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan berani sebut sakit jiwa bagi kalangan yang menyamakan Indonesia dengan Sri Lanka.

Dalam sebuah diskusi dari bertajuk Ketahanan Indonesia di Tengah Ancaman Krisis, dikutip Senin (18/7/2022), ekonom senior Prof Didik J Rachbini memaparkan, apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Sri Lanka dan Pakistan?

Dari segi ekonomi, kata Prof Didik, Indonesia dan Sri Lanka jelas berbeda. Dari Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia mencapai US$1 triliun, sedangkan Sri Lanka di bawahnya yakni US$80 miliar.

“Artinya, Indonesia is large economy, sedangkan Sri Lanka small economy. Ketika Indonesia krisis, Sri Lanka tidak alami krisis. Jadi, tidak ada hubungan langsung antara Sri Lanka dengan Indonesia,” bebernya.

Namun demikian, lanjut ekonom kelahiran Pamekasan, Madura ini, bukan berarti Indonesia bebas dari krisis ekonomi. “Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka,” terangnya.

Masih kata Prof Didik, perekonomian global sedang tidak baik-baik saja, demikian pula Indonesia. Artinya, potensi krisis menghampiri Indonesia, pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. “Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis, kebijakan pembangunan IKN adalah contoh kebijakan yang tidak care terhadap krisis,” tuturnya.

Untuk menjaga harga khususnya pangan dan energi, lanjut Prof Didik, Indonesia menyimpan masalah besar. Yang bisa meledak di masa depan. Di mana, subsidi yang harus ditanggung APBN sudah mencapai Rp500 triliun.

“Krisis harga bisa dikendalikan, tetapi bukan dengan mengorbankan banyak sekali hal. Krisis barangkali bisa tertunda. Akan lebih baik seperti saran Pak Jusuf Kalla (JK) agar penyesuaian harga dengan kemampaun masyarakat tetapi golongan bawah tetap dibantu,” imbuhnya.

Bagaimana dengan utang? Harus diakui, pemerintahan Jokowi termasuk rezim yang ‘hobi’ akan utang. Prof Didik miris dengan pertumbuhan utang hingga Rp1,000 triliun, bahkan Rp1.500 triliun dalam setahun.

“Angkanya lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Mengapa bisa terjadi? Karena tidak ada check and balance. Di parlemen, 82 persen dikuasai pendukung pemerintah. Tidak ada yang berani kontrol,” ungkapnya.

Di sisi lain, mantan anggota DPR asal PAN ini, mempertanyakan borosnya anggaran kepala daerah, menteri dan kepala daerah ketika pandemi COVID-19. Angka perjalanan dinas di daerah hingga kementerian begitu besarnya. Dengan alasan untuk menggerakkan ekonomi.

“Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak ke mana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN. tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun,” tuturnya.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button