Para pucuk pimpinan di Indonesia akan berusaha mengatasi kekhawatiran investor dan pemain ekonomi lainnya menyusul merosotnya ekonomi negara. Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Dikutip dari Reuters, sebuah sumber di Kementerian Perekonomian mengatakan pada Kamis (27/3/2025) langkah tersebut diambil buntut dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa (18/3/2025) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) yang terus melemah.
Presiden RI Prabowo Subianto diwartakan akan bertemu dengan sejumlah investor dan pihak terkait lainnya setelah libur panjang Idul Fitri, yang dimulai pada Jumat (28/3/2025). Pertemuan itu ditujukan untuk mengkoreksi kesalahpahaman soal kebijakan-kebijakan negara.
Sebelumnya pada Selasa pagi (25/3/2025) rupiah melemah sebanyak 0.54 persen atau menjadi Rp16.640 per dolar AS (Amerika Serikat). Berdasarkan data LSEG, rupiah mengalami titik terendah pada 1998 saat menyentuh angka Rp16.800 per dolar AS selama krisis keuangan di Asia.
Tak pelak, kondisi ini telah menimbulkan waswas terkait dengan kebijakan Indonesia, juga kekhawatiran terhadap posisi fiskal negara dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejumlah analis menyebut buruknya komunikasi pemerintah dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan fiskal dan strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, telah menjadi salah satu pemicu bertambahnya tekanan pada pasar dari sentimen negatif dunia.
Oktavianus Audi, analis pasar modal dari Kiwoom Sekuritas, menilai melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) didorong beberapa sentimen.
Dalam wawancara dengan inilah.com pada Rabu (26/3/2025), Oktavianus mengatakan ada tiga sentimen yang mendorong pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap US$. Pertama tingkat suku bunga FFR (Fractional Flow Reserve) yang masih tertahan di level 4,5 persen, sehingga mendorong inflow ke Amerika Serikat(AS) dan menekan Rupiah, meski DXY (Indexs Dolar) turun.
Sentimen kedua, current account defisit tahunan melebar, seiring dengan trade surplus yang stagnan menggambarkan permintaan global yang melemah. Sentimen ketiga yakni penurunan harga komoditas global.