Market

Ekonomi Timpang di Era Jokowi, Fungsi Redistribusi Pajak Disoal

Menyusul kehebohan publik terkait dugaan sindikat korupsi pajak Rafael Alun Trisambodo dan temuan transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kementerian Keuangan, fungsi redistribusi pajak dipertanyakan kalangan ekonom. Sebab, data menunjukkan distribusi kue ekonomi di era Pemerintahan Jokowi semakin timpang.

“Fungsi pajak dari sisi redistribusi harus ditekankan sehingga aspek keadilannya tercapai,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tren kenaikan Gini Ratio Indonesia (perkotaan) dari 0,391 pada September 2019 menjadi 0,402 pada September 2022. Begitu juga dengan perdesaan dengan rasio gini 0,38 pada 2019 dan 0,381 pada 2022.

Gini Ratio = 0 menunjukkan ketimpangan pendapatan merata sempurna. Artinya, setiap orang menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Sebaliknya, Gini Ratio = 1 menunjukkan ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya diterima oleh satu atau satu kelompok saja yang yang lainnya tidak sama sekali.

“Gini rasio kita kemarin enggak begitu bagus, yang diumumkan BPS,” timpal David.

Ekonomi Timpang di Era Jokowi, Fungsi Redistribusi Pajak Disoal - inilah.com
(Sumber: Badan Pusat Statistik)

Padahal, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,31 persen, lebih tinggi dibandingkan capaian 2021 yang mengalami pertumbuhan sebesar 3,70 persen.

Sementara perekonomian 2022 yang dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp19.588,4 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp71,0 juta atau 4.783,9 dolar AS per tahun.

“Di situ kita lihat, walaupun pertumbuhan ekonomi bagus, dari sisi distribusinya kurang bagus. Pendapatan per kapita memang naik, tapi itu lebih ketarik oleh PDB-nya. Ya ini cerminan dari distribusi (pajak) yang kurang baik,” tuturnya.

Hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) yang dilakukan BPS menunjukkan rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil hanya Rp5,23 juta per tahun. Jika angka itu dibagi dengan 365 hari dalam setahun, pendapatan petani skala kecil hanya Rp14.328 per hari (Rp5.230.000 dibagi 365 hari). Hampir 60 persen petani skala kecil ini berada di Pulau Jawa.

“Yang bukan skala kecil rata-rata Rp22,98 juta per tahun,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah di Jakarta, Selasa (7/3/2023).

Habibullah menjelaskan petani skala kecil adalah petani yang distribusi luas lahannya berada pada 40 persen terbawah dari distribusi luas lahan yang dihasilkan dari seluruh responden (dalam satuan hektare).

Kemudian dari distribusi total pendapatan, petani skala kecil berada di 40 persen terbawah distribusi total pendapatan produksi pertanian dari seluruh responden. “Dari 300 ribu sample kami menemukan 72,19 persen petani skala kecil,” ujarnya pula.

Pada awal 2023, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof Didin S Damanhuri menyoroti ketimpangan dari sisi empat orang terkaya di Indonesia yang sama dengan 100 juta penduduk.

Artinya, satu persen orang terkaya sama dengan 46,6 persen PDB. Sedangkan jika menghitung 10 persen orang terkaya, sama dengan 75,3 persen PDB.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button