Munculnya buku bertajuk ‘Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H Maming’ yang isinya mudah ditebak, membela koruptor, tidak akan berdampak apapun terhadap putusan hukum dari majelis hakim.
“Saya melihat eksaminasi itu, sebatas dinamika hukum belaka. Tidak akan mengikat, hanya sebatas surat cinta, boleh diterima dan boleh juga ditolak. Saya percaya, hakim itu independen. Tidak bisa dipengaruhi apapun dan siapapun,” papar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman ketika dihubungi Inilah.com, Jakarta, Senin (7/10/2024).
Masih kata Boyamin, isi eksaminasi yang dituliskan sejumlah pengamat hukum dari sejumlah kampus ke dalam buku itu, sama dengan pernyataan saksi ahli yang dihadirkan Mardani H Maming dalam persidangan.
“Saat sidang, Mardani H Maming hadirkan saksi ahli yang meringankan. Kontennya mirip dengan eksaminasi tersebut. Nyatanya ditolak hakim dan Mardani H Maming tetap dinyatakan bersalah, karena korupsi,” papar Boyamin.
Boyamin benar. Hakim di tingkat Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin yang menangani korupsi IUP Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel), memutus Mardani H Maming bersalah.
Selanjutnya, Mardani H Maming diganjar penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta. Ditambah lagi, Mardani H Maming harus membayar pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.
Tak puas dengan putusan di tingkat PN, Mardani H Maming mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin. Majelis hakim PT Banjarmasin justru menambah hukuman penjara eks Bendahara Umum (Bendum) PBNU itu, menjadi 12 tahun.
Tak terima lagi, Mardani H Maming mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun ditolak. “Intinya, hakim di tingkat Pengadilan Negeri (PN) memutus bersalah. Banding dan kasasi juga memutus Mardani H Maming bersalah. Kita harus hormati itu semua,” kata Boyamin.
Pandangan senada disampaikan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Unmul Samarinda, Orin Agusta Andini. “Ya enggak apa-apa dieksaminasi. Hakim kan bebas dan independen. Bisa menggunakan apapun sebagai bahan pertimbangan untuk putusannya. Sepanjang berkorelasi dengan perspektif hakim untuk menemukan kebenaran materiil, memenuhi keadilan dan tujuan hukum lainnya,” kata Orin.
Asal tahu saja, sejumlah pakar hukum melakukan eksaminasi terhadap perkara korupsi yang menjerat Mardani H Maming. Semuanya disusun menjadi buku.
Mahrus Ali, dosen hukum pidana Fakultas Hukum (FH) UII (Universitas Islam Indonesia), mengatakan, perbuatan Mardani H Maming mengeluarkan SK Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN, tidak melanggar aturan.
“Norma Pasal 93 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu ditujukan kepada pemegang IUP, bukan pada jabatan bupati. Sepanjang syarat dalam ketentuan tersebut terpenuhi, maka peralihan IUP diperbolehkan,” kata salah satu eksaminator sekaligus editor buku itu, Minggu (6/10/2024).
Sementara, Guru Besar Hukum Administrasi Negara FH UII, Ridwan mengatakan, permohonan peralihan IUP-OP tidak perlu melampirkan syarat administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial. Pasalnya, persyaratan tersebut melekat pada izin yang telah dialihkan.
Menurut eksaminator lainnya, Karina Dwi Nugrahati Putri, jika dapat dibuktikan bahwa penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR murni berasal dari keuntungan pengoperasian pelabuhan PT ATU berdasar perjanjian yang sah, maka asumsi bahwa penerimaan tersebut berkaitan dengan peralihan IUP-OP melalui SK Bupati menjadi tidak berdasar.
“Judex facti (kompetensi hakim) telah mengenyampingkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan mengenai adanya penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR tidak ada kaitannya dengan peralihan IUP-OP dan bukan sebagai hadiah,” ucap Karina, dosen Departemen Hukum Bisnis FH-UGM.