CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk, yang dikenal karena perilakunya yang sering tidak menentu, kini sedang diawasi setelah laporan terbaru menuduhnya menggunakan narkoba. Tangan kanan Presiden Donald Trump ini rutin mengonsumsi ketamin. Apakah ada hubungannya dengan perilakunya?
Dalam wawancara terbarunya dengan jurnalis Don Lemon, Musk membela penggunaan ketamin, obat bius yang diresepkan dan halusinogen, dengan mengatakan bahwa ia hanya mengonsumsi sedikit saja setiap minggu atas saran dokter.
“Ada kalanya saya memiliki semacam … kondisi kimia negatif di otak saya, seperti depresi, atau depresi yang tidak terkait dengan berita negatif apa pun, dan ketamin membantu mengeluarkan seseorang dari kerangka berpikir negatif,” kata Musk kepada Lemon, mengutip Times of India, kemarin.
Pengusaha miliarder itu mengatakan bahwa ia hanya menggunakan sedikit saja sekali setiap dua minggu atau semacamnya di bawah pengawasan medis dan memiliki resep dari “dokter sungguhan.”
Apakah ketamin memengaruhi perilaku Musk? Laporan sebelumnya di The Wall Street Journal berspekulasi bahwa penggunaan obat dapat memengaruhi perilaku Musk. Meskipun obat tersebut diresepkan untuk mengobati depresi, penggunaannya juga dikaitkan dengan sifat halusinasi, distorsi realitas, disosiasi, paranoia, dan menyebabkan hilangnya memori jangka pendek.
Musk juga mengatakan bahwa ia “hampir selalu” sadar selama sesi posting larut malam di akun X miliknya. Musk tidak menjelaskan secara rinci apakah ini menyangkut tentang Ketamin atau zat lain ketika berbicara tentang keadaan sadar selama sesi X-nya.
Apa itu Ketamin?
Ketamin adalah obat non-narkotika termasuk kategori Schedule III atau Jadwal III yang disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat untuk digunakan sebagai anestesi umum. Obat ini juga terkadang diresepkan untuk penggunaan ‘di luar label’, seperti depresi.
Di Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum mengategorikan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I. Demikian juga dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, belum mengkategorikan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I. Permenkes ini telah diubah dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2022.
Namun ketamine dapat dipergunakan sebagai prekursor narkotika. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Ketamine dapat dipergunakan sebagai campuran pada tablet ekstasi yang beredar secara ilegal.
Menurut Harvard Health, penggunaannya yang paling baru adalah untuk mengobati depresi berat atau depresi yang resistan terhadap pengobatan (TRD). Meskipun dalam jumlah yang ditentukan, obat ini dapat bersifat terapeutik, penggunaan yang berlebihan dapat berakibat fatal.
Contohnya, bintang Friends Matthew Perry meninggal karena overdosis. Namun, popularitas obat ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda dengan meluasnya klinik ketamin dan layanan daring memberikan akses mudah untuk mendapatkan obat tersebut, selain pasar obat terlarang yang terus berkembang.
Musk membantah menggunakan ketamin secara berlebihan. “Jika Anda menggunakan terlalu banyak ketamin, Anda tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan. Saya memiliki banyak pekerjaan, saya biasanya bekerja selama 16 jam sehari … jadi saya tidak benar-benar berada dalam situasi di mana saya tidak bisa tidak waspada secara mental untuk jangka waktu yang lama,” katanya.
Ketamin aman digunakan untuk tujuan pengobatan di bawah pengawasan seorang ahli. Ketamin digunakan untuk mengobati nyeri, menginduksi anestesi umum, mengobati kejang, kecemasan, dan depresi. Namun, penggunaan rekreasionalnya dapat menyebabkan efek samping yang berpotensi mengancam jiwa.
Apa Efek Sampingnya?
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan berbagai efek fisiologis dan neurologis. Ketamin dapat menyebabkan ketidakstabilan pada fungsi jantung dan pembuluh darah, yang mengakibatkan peningkatan atau penurunan sementara pada tekanan darah dan denyut jantung, disertai dengan irama jantung tidak normal.
Depresi pernapasan dapat terjadi, terutama pada kasus overdosis atau pemberian yang cepat. Reaksi yang muncul, seperti agitasi atau kebingungan, dapat muncul selama masa pemulihan pascaoperasi.
Selain itu, Ketamin dapat meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga memerlukan pemantauan cermat pada individu dengan kondisi yang sudah ada sebelumnya. Cedera hati merupakan risiko potensial lainnya, karena pemberian ketamin dapat menyebabkan disfungsi hati. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa defisit kognitif, terutama yang memengaruhi kemampuan berpikir, dapat terjadi pada anak-anak.