Terbakarnya unit pengolahan dan pemurnian mineral mentah (smelter) milik PT Freeport Indonesia (PTFI/Freeport) di Gresik, ternyata mujarab dijadikan alasan untuk mendapatkan izin ekspor konsentrat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan, Freeport mendapatkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga hingga Juni 2025.
“Kemarin kita sudah rapat terbatas (ratas) sebagai tindak lanjut dari Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas). Kita harus menghitung semuanya tentang kebaikan negara, kebaikan perusahaan, dan kebaikan rakyat Papua. Secara undang-undang kan harus kita akui bahwa batas akhir ekspor itu kan 31 Desember 2024,” kata Menteri Bahlil, Jakarta, dikutip minggu (23/2/2025).
Bak jubir Freeport, Bahlil menjelaskan, telah terjadi kebakaran di area asam sulfat smelter yang berada di Kawasan Java Integrated Industrial Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur (Jatim). Pihak Kepolisian melakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah insiden tersebut disengaja atau tidak.
Kepolisian diminta untuk menyelidiki, sementara pihak asuransi juga melakukan pengecekan. Jika terbukti disengaja, izin ekspor tidak akan diperpanjang. Namun, setelah dilakukan investigasi, baik pihak asuransi maupun kepolisian menyimpulkan kebakaran tersebut merupakan kejadian tidak disengaja atau force majeure alias kahar.
Masih kata Bahlil, smelter Freeport menyerap dana investasi US$3 miliar, sejatinya hampir rampung. Namun, insiden kebakaran yang terjadi di fasilitas Asam Sulfat menyebabkan tertundanya operasional smelter tersebut.
“Nah atas dasar itu kemudian kita pemerintah lewat ratas setelah memutuskan untuk Freeport dapat diperpanjang ekspornya sampai dengan pabrik yang rusak itu selesai. Kapan selesainya? Bulan Juni,” kata Bahlil.
Untuk mengikat komitmen tersebut, pemerintah telah meminta Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Tony Wenas meneken pernyataan di atas materai dan dinotariskan.
“Kalau sampai bulan Juni pun tidak selesai, maka dia akan mendapatkan sanksi. Diberikan sanksi. Yang untuk ekspornya kita memberikan pajak ekspor yang maksimal,” tegas Bahlil.
Meski izin ekspor diberikan hingga Juni, Bahlil menekankan operasional smelter tidak bisa langsung berjalan dengan kapasitas penuh. Sekitar 30-40 persen dari total konsentrat yang diproduksi, akan diekspor secara bertahap. Sisanya yang 60-70 persen mulai diserap smelter.
“Seperti mobil baru, enggak bisa langsung jalan 140 kilometer per jam. Jadi harus bertahap. Saya pastikan, pada Oktober atau September nanti, semuanya sudah bisa berjalan optimal,” jelasnya.
Terkait volume ekspor yang diizinkan, Bahlil mengatakan pemerintah akan menghitung kebutuhan dengan cermat. Berdasarkan data, total produksi konsentrat Freeport mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun, dengan 1,35 juta ton dialokasikan untuk smelter yang telah berekspansi dan 1,7 juta ton untuk smelter baru.
Bahlil menegaskan pihaknya tidak ingin mengambil keputusan yang merugikan pekerja, ekonomi Papua, dan pendapatan daerah. “Freeport ini kan banyak akalnya juga. Tapi saya enggak akan pernah terbuai dengan rayuan Freeport. Saya konsisten,” ujar Bahlil.
Sebelumnya, Freeport meminta pemerintah untuk kembali membuka izin ekspor konsentrat tembaga pada tahun ini. Kata Tony, berdasarkan ketentuan dalam izin usaha pertambangan khusus (IUPK), ekspor dapat dilakukan jika terjadi keadaan kahar (force majeure). Namun, regulasi Kementerian ESDM masih perlu disesuaikan untuk mengakomodasi situasi ini.
Dia menyatakan, akibat terhentinya operasional smelter, PT Smelting di Gresik hanya mampu menyerap sekitar 40 persen dari total konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport di Papua.
Kondisi ini menyebabkan sekitar 1,5 juta ton konsentrat tembaga menjadi idle atau tidak terpakai. Jika ekspor tetap dilarang, negara berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp65 triliun per tahun.
“Dari total nilai ekspor yang bisa lebih dari 5 miliar dolar AS, negara berpotensi kehilangan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS, atau sekitar Rp65 triliun dari berbagai sumber seperti bea keluar, royalti, dividen, dan pajak,” kata Tony.