Market

Dukung Energi Hijau, LSM Tagih Janji Dirut BRI Setop Pembiayaan PLTU Jawa 9 dan 10

Gerakan #BersihkanIndonesia mendesak BRI menghentikan pembiayaan pada proyek yang berjalan seperti PLTU Jawa 9 dan 10 dan Refinancing Adaro. Komitmen energi hijau dari pemerintahan Jokowi  diuji.

Hal itu, kata Pius Ginting, koordinator Asosiasi Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), menindak lanjuti pernyataan Direktur Utama Bank BRI, Sunarso tentang komitmen BRI mengeluarkan menghentikan pembiayaan bagi sektor energi fosil seperti, batu bara dan minyak bumi.

Di lain sisi, Pius kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/6/2022), mengapresiasi langkah yang diambil BRI dengan berhenti membiayai sektor energi fosil yang selama ini telah merusak lingkungan.

Dia bilang, mendanai energi fosil berarti menambah penderitaan petani karena energi fosil telah menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan peningkatan laju perubahan iklim.

“Sedangkan Bank BRI saat ini gencar menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Pada 2021, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tercatat menguasai 28,3 persen pangsa pasar (market share) penyaluran kredit ke sektor pertanian dari seluruh industri perbankan nasional,” katanya.

Menurut Pius, petani menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim. Kejadian iklim ekstrim akan menyebabkan kegagalan panen dan tanam, yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi akibat banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara, dan intensitas serangan hama.

Ketika petani mengalami gagal panen, mereka mengalami kerugian yang besar dan mengganggu kondisi keuangan mereka dan berpotensi tidak dapat melunaskan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diberikan oleh Bank BRI.

Padahal kata dia, sejatinya, KUR bertujuan untuk memperkuat modal kerja para petani dan membat sejahtera kehidupan petani.

“Dengan berhenti mengalirkan kredit ke sektor energi fosil, Bank BRI membantu menekan laju perubahan iklim dan meminimalisasi potensi gagal panen sehingga akan menyelamatkan petani dari ancaman gagal membayar KUR,” tegasnya.

Andri Prasetiyo, Peneliti dari Trend Asia menyatakan, Komitmen BRI yang disampaikan Dirut Soenarso, untuk menghentikan pendanaan atas batubara dan minyak adalah langkah yang sudah tepat dan sudah seharusnya dilakukan.

Langkah ini selanjutnya tidak boleh berhenti hanya dalam bentuk pernyataan verbal dalam forum internasional, namun harus segera dituangkan secara tertulis dalam dokumen dan kerangka acuan pembiayaan perseroan ke depannya.

Bila tidak segera mengikuti langkah ini maka bank-bank yang masih memilih mendanai energi kotor akan mendapati reputasi buruk akibat sentimen negatif dari nasabah dan publik sebab dianggap tidak sensitif dengan persoalan lingkungan.

Langkah yang dilakukan BRI ke depan tidak hanya akan membawa dampak positif bagi lingkungan, sebab secara bisnis bagi perusahaan, dengan segera berhenti mendanai sumber batubara, maka peluang untuk mengembangkan pendanaan bisnis hijau akan semakin terbuka luas dan perusahaan juga akan terhindar dari risiko stranded asset.

“BRI tercatat mengambil bagian dalam kredit sindikasi untuk Mega Proyek PLTU Jawa 9-10 yang menelan biaya hingga Rp40 triliun dengan kapasitas 2.000 MW. PLTU Jawa 9-10 saat ini sedang masuk tahap pembangunan awal, bila BRI serius terhadap komitmennya, BRI juga dapat mengawalinya dengan menarik keterlibatannya dari proyek ini,” tegas Andri.

Fanny Tri Jambore, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI mengatakan, pendanaan pada industri ekstraktif termasuk batubara dan minyak bumi selama ini menyebabkan meluasnya kerusakan sehingga membuat merosotnya kualitas lingkungan dan hilangnya sumber penghidupan komunitas lokal, dan memicu krisis iklim.

Fanny mengungkapkan, lebih dari separuh luas daratan negara ini telah diambil alih oleh sektor industri ekstraktif. Setidaknya izin sektor pertambangan terus merangsek hingga menguasai setidaknya 97,7 juta hektar luas kawasan di Indonesia.

“Pemusatan keuntungan pada segelintir tangan melalui industri energi fosil ini bertolak belakang pada upaya untuk mengatasi laju krisis iklim,” tegas Fanny.

Langkah BRI ini harusnya juga menjadi sinyalemen kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta sektor pendanaan lainnya untuk memperbaiki visi dan arah kebijakan pendanaan di Indonesia. Sektor energi fosil seharusnya sudah tidak lagi mendapat tempat pada taksonomi hijau, serta tidak lagi dipermudah dalam mendapatkan
sokongan pendanaan.

Sebelumnya, Soenarso menyebutkan, portofolio kredit perseroan ke sektor energi fosil, terutama batu bara, yang saat ini hanya kurang dari 3 persen dari keseluruhan kredit BRI, dipastikan tidak akan bertambah. Pernyataan ini disampaikan Sunarso saat ditanya kemungkinan BRI terlibat dalam pembiayaan energi fosil yang belakangan dicoba untuk didorong kembali, menyusul krisis energi global akibat pandemi dan perang Rusia-Ukraina. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button