Kasus candaan dengan gaya kasar dan bernada merendahkan yang dilakukan oleh penceramah Miftah Maulana atau sering disapa Gus Miftah viral di media sosial dan menjadi perhatian cukup banyak kalangan, termasuk para elite politik. Dan ternyata, itu bukan yang pertama. Sebelumnya, ujaran kasar, bahkan sampai kepada body shaming, sering keluar dari mulut penceramah yang sorot matanya selalu tersembunyi di balik kaca mata hitam.
Dulu, perhatian publik kepadanya tidak sebesar satu dua bulan terakhir ini. Sebab, segala tindakannya, walaupun dipublikasikan melalui media sosial, tetapi masih dianggap sebagai sesuatu yang privat, sehingga tidak ada alasan publik untuk mengkritik. Yang sebenarnya merasa perlu untuk mengkritik, atau memberikan nasehat, juga merasa khawatir dianggap sirik. Namun, ketika Miftah diangkat sebagai pembantu Presiden Prabowo, ia bukan sekadar penceramah dari panggung ke panggung tanpa embel-embel jabatan. Sebab, setelah itu, Miftah menjadi pejabat negara yang terhadapnya publik memiliki hak untuk mengkritik.
Sebelumnya, sebenarnya penceramah yang nampak ingin tampil beda tetapi sesungguhnya banyak menjiplak ini, pernah tersandung masalah. Bahkan yang berkaitan langsung dengan kapasitasnya sebagai orang yang oleh kalangan tertentu dianggap sebagai panyampai ajaran Islam yang seharusnya memahami teks-teks sumber ajaran Islam, dan juga berbagai pemikiran yang bersumber darinya. Di antaranya ketika dia mengoreksi dan bahkan mengolok-olok Almarhum Tengku Zulkarnain yang salah mentashrif kata kafir. Namun, tak lama kemudian, ketika ia membangun argumentasi atas sebuah tindakannya yang dianggap kontroversial dengan membaca kitab al-Mawsuu’ah, ia membacanya dengan banyak kekeliruan. Karena kesalahannya bersifat mutlak, maka kritik terhadapnya menjadi objektif. Namun, itu tidak menghentikan gaya arogannya di atas panggung.
Ucapan dan sikapnya yang terakhir terhadap seorang penjaja teh dalam suatu pengajian itu oleh netizen menimbulkan persepsi berbeda karena sang penjaja teh nampak tidak memberikan respons tertawa, bahkan tersenyum sekalipun. Itulah yang menyebabkan warganet menaruh rasa iba kepada lelaki yang kemudian diketahui namanya sebagai Sunhaji dan kemudian mendatangkan banjir kritik dan celaan kepada penceramah gondrong itu. Bahkan, karena posisinya sebagai pejabat yang diangkat oleh Presiden Prabowo yang merupakan pucuk pimpinan Partai Gerindra, Partai Gerindra kemudian mengeluarkan sikap yang cukup keras dengan memintanya untuk segera minta maaf secara terbuka dan kepada penjaja teh yang ia hinakan. Tuntutan Partai Gerindra tersebut masuk akal, karena sikap buruk Miftah itu bisa merusak nama Presiden Prabowo yang dalam berbagai kesempatan menyampaikan komitmennya untuk membela orang-orang kecil dan lemah.
Sesungguhnya di kalangan awam, candaan dalam forum-forum pengajian adalah sesuatu yang sangat biasa. Bahkan candaan menjadi sebuah keharusan untuk membuat forum yang bersifat massal menjadi hidup dan bisa mengusir rasa bosan dan mengantuk. Terutama untuk masyarakat dengan pendidikan dan wawasan yang bisa dikatakan terbatas, maka materi dakwah perlu disampaikan dengan cara-cara yang menggembirakan. Namun, segala sesuatu memerlukan kadar yang sesuai. Jika berlebihan, maka bisa berpotensi menimbulkan masalah. Apalagi Miftah yang walaupun asal-usul keturunannya juga masih banyak diperdebatkan, dan kemudian ternyata ia bukanlah anak seorang kiai, tetapi sudah terlanjur dilekatkan kepadanya sebutan “gus”, sehingga menempatkan dirinya sebagai “elite agama” untuk kalangan penggemarnya.
Panggilan “gus” oleh kalangan tertentu kepadanya, menunjukkan bahwa Miftah mereka akui sebagai bukan “orang biasa”. Di pesantren, sebutan ini digunakan untuk menyapa anak kiai yang belum sampai kepada level kiai. Namun, pada prakteknya kemudian panggilan gus melekat selamanya kepada orang-orang tertentu, walaupun sudah dianggap mencapai level kiai, di antaranya Gus Dur. Itu artinya, panggilan gus merupakan pengakuan bahwa seseorang termasuk dalam kategori elite agama di kalangan umat, khususnya kalangan yang sering disebut tradisionalis. Walaupun ada juga anak kiai yang sejak belia tidak mendalami ilmu agama, tetapi karena anak kiai, maka tetap saja dipanggil gus. Dan ini menempatkan orang yang dipanggil gus, sekali lagi, menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat tradisionalis.
Pemuka Sebagai Teladan
Elite atau pemuka agama mestinya memberikan contoh yang bisa dilihat dan dipraktekkan langsung oleh umatnya. Namun, faktanya banyak pemuka agama yang justru melakukan penyelewengan dengan menggunakan posisinya sebagai orang yang ditinggikan oleh umat. Karena itulah, Alquran memberikan kritik keras kepada elite-elite agama, terutama karena mereka sesungguhnya mencari penghidupan dan kedudukan di dunia, bahkan karena itu sampai kepada sikap menghalangi orang lain dari jalan Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (al-Taubah: 34)
Alquran dan tentu saja sunnah Nabi Muhammad menekankan prinsip-prinsip sikap elite agama, yang merupakan ajaran hidup untuk kehidupan umat, di antaranya:
Pertama, bisa menjadi contoh dalam perilaku, bukan sekedar omongan. Alquran menegaskan ini dengan menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah teladan yang baik.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab: 21)
Kedua, tidak meminta upah atas penyampaian ajaran kebenaran atau petunjuk yang dilakukan. Sebab, para elite agama sesungguhnya adalah pejuang di jalan Allah yang dalam melakukannya justru mestinya menunjukkan kesediaannya berkorban harta dan bahkan juga jiwa.
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Yasin: 21)
Logika inilah yang dibangun dengan menyebut ulama’ sebagai orang-orang yang mendapatkan warisan dari para nabi (waratsat al-anbiyâ’). Warisan yang dimaksud di sini tentu saja bukan materi duniawi, tetapi ajaran para nabi yang disampaikan secara gratis. Jika ulama’ mendapatkan ilmu secara gratis, maka tidak pantas bagi mereka untuk menjualnya. Ungkapan “menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah” sering digunakan oleh Alquran. Konteksnya adalah para elite agama saat itu tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad karena memilih untuk mendapatkan keuntungan di dunia. Ungkapan tersebut saat ini tentu saja masih tetap relevan jika dikontekstualisasikan dan direkontekstualisasikan dalam relasi para elite agama dengan umat.
Ketiga, memberikan kasih sayang kepada umat, bukan sebaliknya mengeksploitasi mereka. Aktivitas dakwah mestinya menjadi panggilan, bukan untuk mencari penghidupan. Kenyataan bahwa para pekerja seni mendapatkan bayaran yang sangat besar, sama sekali bukan alasan untuk meminta upah yang lebih besar dengan membangun pandangan bahwa agama bernilai jauh lebih penting. Sebab, tujuan dakwah adalah kasih sayang kepada seluruh umat manusia agar mereka mengakses petunjuk Allah Swt..
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (al-Taubah: 128)
Sebagian elite agama faktanya menjadi orang-orang malas bekerja untuk mendapatkan penghidupan. Mereka lebih sering memproduksi cerita-cerita palsu yang dalam dunia jurnalistik tidak memenuhi persyaratan 5W1H. Dan dari situlah mereka melakukan glorifikasi kepada diri mereka sendiri, sehingga membuat umat yang awam tertipu. Mereka menikmati lingkungan berbudaya feodal yang terbangun. Mestinya, elite agama, sebagaimana Nabi Muhammad, melakukan upaya-upaya yang benar-benar mencerdaskan dan memberdayakan. Dan konsekuensi dari itu adalah menggunakan harta kekayaan yang mereka memiliki untuk membantu umat yang kesulitan. Fakta, sekali lagi, elite agama hidup dalam gelimang kemewahan penuh kenikmatan, sementara mayoritas umat hidup dalam kemelaratan. Pasti ada hikmah dalam sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad yang memulai perjalanan hidupnya dari menggembala domba, kemudian menjadi profesional dan pengusaha yang kaya, dan kemudian menikah dengan perempuan kaya raya, baru kemudian menjadi utusan Allah dan mendakwahkan ajaran Islam. Dan setelah menjalani aktivitas dakwah, harta kekayaan keluarganya habis untuk perjuangan. Jika Nabi Muhammad dan keluarganya sebelumnya tidak memiliki rekam jejak sebagai orang yang profesional dan kaya, maka sangat besar kemungkinan ia akan mudah dituduh sebagai orang yang menyebarkan ajaran hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Kasus Miftah dan sebenarnya sudah banyak kasus terbongkarnya kepalsuan orang-orang yang sebelumnya dipandang elite agama, karena selalu menggunakan simbol-simbol sebagai elite agama, mestinya membuat umat memiliki kesadaran baru bahwa tidak sedikit orang yang memanfaatkan agama untuk kepentingan duniawi mereka sendiri. Untuk terhindar dari tipuan-tipuan yang mereka lancarkan, jalan yang mutlak dilakukan adalah belajar ilmu agama dimulai dari ilmu alatnya. Hanya dengan modal ilmu alat, yang kemudian dilanjutkan dengan bacaan-bacaan yang luas dan kritis, umat akan terbebas dari pembodohan yang dilakukan oleh orang-orang yang mulut mereka berbicara tentang akhirat, tetapi sesungguhnya mereka sedang mencari hidup dan penghidupan di dunia. Wallahu a’lam bi al-shawab.