Market

Faisal Basri Wanti-wanti KPPU Soal Kartel Minyak Goreng

Ekonom Faisal Basri mewanti-wanti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk berhati-hati dalam menyimpulkan adanya kartel yang dilakukan oleh produsen minyak goreng kemasan. Keseragaman kenaikan harga ditengarainya tidak serta merta menjadi bukti bahwa telah terjadi kesepakatan di antara produsen alias perilaku kartel.

“Hal itu merupakan reaksi normal para pelaku usaha menyikapi kenaikan harga CPO (crude palm oil) sebagai bahan baku utama minyak goreng,” kata Faisal saat memberi keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng di KPPU, Jakarta, Jumat (17/2/2023).

Faisal juga melihat kelangkaan minyak goreng kemasan juga disebabkan oleh masalah distribusi. Sebab, begitu peraturan HET (Harga Eceran Tertinggi) dibatalkan, dalam waktu singkat barang tersedia lagi di pasar.

“Saya tidak ingin menuduh pihak mana pun karena saya tidak punya data. Bisa saja barang memang ditahan oleh distributor, subdistributor, atau agen. Namun, dengan waktu yang begitu singkat barang tersedia di pasar, sangat kecil kemungkinan itu dilakukan oleh produsen,” tuturnya.

Kalau dilihat, menurut Faisal, dalam perkara ini terlapornya banyak sekali. “Menurut saya, sulit untuk membuat kesepakatan yang melibatakan banyak pihak,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.

Lebih jauh Faisal menilai intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi krisis minyak goreng pada tahun lalu dinilai sebagai kebijakan yang keliru. Menurutnya, kebijakan pemerintah menerapkan HET maupun pembatasan ekspor CPO melalui peraturan domestic market obligation (DMO) justru menjadi biang keladi kelangkaan minyak goreng.

“Intervensi pemerintah seharusnya dilandasi unsur-unsur dasar perumusan kebijakan, termasuk mengukur dampak dari kebijakan tersebut,” tuturnya.

Peraturan HET untuk minyak goreng kemasan dan kewajiban DMO untuk eksportir CPO, menurut Faisal, justru menambah hambatan dan mendistrorsi pasar. “Kebijakan yang berubah-ubah ini juga menimbulkan ketidakpastian yang menyebabkan kelangkaan di pasar,” ujarnya.

Menurut Faisal, ketika pemerintah menerapkan HET minyak goreng kemasan, timbul disparitas karena harga yang ditetapkan jauh di bawah harga pasar. Artinya, produsen dipaksa untuk menjual rugi. Produsen yang hanya memproduksi minyak goreng mungkin akan tetap berproduksi selama masih bisa menutupi variable cost.

Namun, jika berlangsung lama, perusahaan tersebut akan tutup karena tidak bisa lagi menutupi biaya produksi. Sementara perusahaan-perusahaan sawit yang lebih terintegrasi dan punya alternatif, mereka akan mengalihkan produksinya ke oleochemical atau biodiesel karena ada jaminan harga atau subsisi dari pemerintah.

“Kebijakan HET juga juga menyebabkan harga minyak goreng kemasan menjadi murah dibandingkan harga minyak curah. Hal ini memicu shifting di masyarakat dari minyak curah ke minyak kemasan, seperti halnya terjadi ketika pemerintah menurunkan harga pertamax,” ungkap dia.

Sementara, kata dia, produski relatif tetap, sehingga terjadi ketimpangan antara permintaan dan pasokan (shortage).

“Jadi, kebijakan HET itu hanya efektif apabila pemerintah memiliki stok cadangan untuk menjamin barang tersedia di pasar. Dalam kasus minyak goreng, pemerintah tidak punya stok,” ucap Faisal tandas.

Faisal melanjutkan, dari kacamata kebijakan publik, kebijakan pemerintah seharusnya bisa membuat pasar lebih fleksibel. Kebijakan pemerintah juga sebaiknya tidak berbentuk larangan atau bagi-bagi kuota.

“Intervensi pemerintah tidak boleh mengubah model bisnis. Nyatanya, lewat kebijakan DMO, pemerintah mewajibkan produsen sawit untuk memproduksi minyak goreng apabila ingin mengekspor. Padahal, belum tentu dia punya pabrik minyak goreng,” sergahnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button