Fakta Mengejutkan soal Kanker Serviks, IDI Borong Beri Solusi Pengobatan


Menurut informasi dari idiborong.org, kanker serviks adalah salah satu penyakit yang paling berbahaya bagi wanita. Sejak 2021, jumlah kasus kanker serviks di Indonesia mencapai 36.633 kasus, atau 17,2% dari total kasus kanker pada wanita, dan jumlah kematian akibat kanker serviks mencapai 21.003 kasus, atau 19,1% dari total kematian akibat kanker.

Ikatan Dokter Indonesia Cabang Borong menjelaskan bahwa kanker serviks adalah penyakit yang terjadi ketika sel-sel di leher rahim (serviks) tumbuh secara tidak normal dan membentuk tumor ganas. 

IDI Borong juga menjelaskan kanker serviks dapat juga berkembang pada sel-sel di leher rahim dan merupakan salah satu jenis kanker paling umum yang dialami oleh wanita. Kanker serviks sering kali tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Namun, saat penyakit berkembang, terjadi pendarahan tidak normal dari vagina, termasuk pendarahan setelah berhubungan seksual.

IDI selanjutnya melakukan penelitian terkait kanker serviks, apa saja penyebab seseorang mengidap penyakit kanker serviks kemudian rekomendasi obat yang dapat diberikan bagi penderitanya.

Apa saja penyebab terjadinya penyakit kanker serviks?

IDI Borong menjelaskan kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang paling umum terjadi pada wanita. Penyebab utama kanker serviks masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi ada beberapa faktor yang diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ini. Berikut adalah penyebab utama kanker serviks meliputi:

1. Penyakit menular seksual (PMS)

Faktor pertama adalah bahwa wanita dengan riwayat penyakit menular seksual seperti klamidia, gonore, atau sifilis lebih rentan terhadap kanker serviks. Infeksi HPV juga sering muncul bersamaan dengan PMS lainnya.

2. Riwayat aktivitas seksual yang berisiko

Wanita yang menikah atau mulai berhubungan seksual pada usia muda (kurang dari 20 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi HPV karena memulai aktivitas seksual pada usia dini, memiliki banyak pasangan seksual, atau berhubungan seksual tanpa alat perlindungan (kondom).

3. Penggunaan Pil KB jangka panjang

Wanita yang menggunakan pil kontrasepsi selama lima tahun atau lebih juga lebih rentan terhadap kanker serviks karena perubahan hormonal dan dampak jangka panjang pada sel-sel rahim.

4. Melahirkan banyak anak saat usia muda

Terakhir, melahirkan banyak anak pada usia muda (di bawah 28 tahun) dapat meningkatkan risiko kanker serviks. Wanita yang melahirkan lebih dari tiga atau lima anak memiliki risiko yang lebih tinggi. Penting bagi Anda, untuk rutin cek kesehatan pada dokter, apabila mengalami rasa sakit terutama di organ intim.

Apa saja obat yang direkomendasikan untuk pengidap kanker serviks?

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjelaskan bahwa pengobatan kanker serviks melibatkan berbagai jenis obat yang digunakan tergantung pada stadium kanker dan kondisi kesehatan pasien. Berikut adalah beberapa obat yang direkomendasikan untuk pengidap kanker serviks meliputi:

1. Cisplatin

Salah satu obat kemoterapi yang paling umum digunakan untuk pengobatan kanker serviks adalah cisplatin, yang bekerja dengan menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sel kanker. Infus dimasukkan ke dalam pembuluh darah untuk diberikan.

2. Carboplatin

Seperti cisplatin, obat carboplatin dapat diberikan melalui infus dan digunakan untuk mengobati kanker serviks dengan menghambat pertumbuhan sel kanker.

3. Topotecan

Topotecan adalah obat kemoterapi yang bekerja dengan menghentikan bahan kimia yang membantu memisahkan dan memperbaiki DNA sel kanker. Obat ini memiliki kemampuan untuk mematikan atau menghambat perkembangan sel kanker. Anda dapat mengonsumsi obat ini secara lisan atau melalui infus.

4. Perawatan Lain

Selain obat-obatan di atas, pengobatan kanker serviks juga dapat melibatkan terapi radiasi dan pembedahan sebagai bagian dari rencana perawatan yang komprehensif.

Penggunaan obat-obatan ini harus dilakukan di bawah pengawasan dokter spesialis onkologi untuk memastikan efektivitas dan meminimalkan efek samping. Setiap pasien mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda berdasarkan kondisi kesehatan dan respons terhadap pengobatan.