Fauzan Fuadi, Anak Tukang Ojek yang Kini Jadi Ketua Timses Luman di Pilgub Jatim


Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim (Luman) telah menunjuk Fauzan Fuadi sebagai ketua tim sukses (timses) atau tim pemenangan.

Fauzan merupakan Bendahara DPW PKB Jatim sekaligus Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim. Pemilihan Fauzan sebagai ketua tim pemenangan tentu setelah mempertimbangkan banyak hal.

Adapun strategi yang diusung dalam memenangi pasangan Luman dalam kontestasi di Pilgub Jatim ini adalah sowan ke para tokoh yang ada di Jatim. 

Dirinya pun optimistis mampu menggerakkan seluruh kader mengusung Luluk-Lukman menjadi orang nomor satu di Jatim.

Perjalanan Hidup

Siapa sangka seorang Fuad, sapaan akrabnya, sudah terbiasa menjalani kehidupan yang keras dan mandiri sejak kecil. Kedua orang tuanya harus menghidupi tujuh orang dengan pengasilan sebagai tukang ojek.

Sedangkan ibunya berjualan kopi untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam kondisi seperti itu dirinya terdidik matang terutama memahami kebutuhan utama masyarakat di semua sisi kehidupan.

Perkenalannya dengan dunia politik dimulai saat dirinya diserahi amanah sebagai Ketua Pimpinan Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Malang. Dinamika pergerakan membentuknya menjadi anak muda yang berpikir lebih kritis dan berani.

“Rasanya tidak terbayang, dulu itu ketika masih jadi mahasiswa takut sekali kalau mau masuk ke kantor PKB Jawa Timur, karena tidak ada yang kenal. Tapi sekarang malah jadi Bendahara DPW PKB Jawa Timur,” katanya, seperti dikutip NU online.

Pria kelahiran 13 Maret 1981 ini tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah, Gresik dan sempat mengenyam pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada tahun 2000.

Namun, proses kuliahnya harus terhenti pada tahun 2005 karena terkendala biaya. Kendati demikian, ia memiliki keinginan kuat untuk kembali duduk di pendidikan tinggi, dan berhasil dilanjutkan pada tahun 2012.

Tidak Makan Dua Hari

Bahkan ia juga pernah merasakan getirnya kehidupan di kota besar seperti di Malang, salah satunya menyambung hidup dan melanjutkan kuliah dari menjual tulisan. Selama di malang, setiap malam ia menuangkan pemikirannya dalam secarik kertas.

Keesokan harinya, pagi buta ia bergegas mengirimkan tulisan tersebut ke berbagai media. Dari tulisan yang dimuat, mendapat honor Rp50 ribu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Ketika tak ada satu pun media yang memuat opininya adalah menjadi hari yang terpuruk di perantauan. “Pernah dua hari tidak makan, dan tidak tidur berhari-hari untuk terus menulis opini,” ujarnya ketika itu.