Hangout

First Blend di Dunia Adalah Kopi Yaman-Jawa

Jumat, 14 Okt 2022 – 09:43 WIB

Sejak abad-abad lalu, sebuah komplotan tak rahasia yang beranggotakan pengekspor kopi, grosir, dan pengecer, demi menghasilkan lebih banyak keuntungan telah memanfaatkan nama merek Mokha dan Jawa dengan menempelkan kedua nama itu pada kopi-kopi yang bukan datang dari Yaman atau Jawa.

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Bila sebagian kopi disebut mocha, itu karena Pelabuhan Al Mokha di Yaman pada abad 15 menjadi pelabuhan perdagangan kopi terbesar di dunia. Memang, sejak 1450 Yaman membudidayakan kopi dan mengekspornya ke berbagai negeri. Kopi Yaman yang jenisnya Arabica itulah yang kemudian datang dan pertama dibudidayakan di Indonesia.

Jadi bila sebagian warga dunia menyebut kopi sebagai ‘Java’, itu pun benar karena pernah pada saatnya sebagian kopi yang dinikmati dunia datang dari Pulau Jawa. Kita tahu bahwa penjajah Belanda pernah memberlakukan Undang-undang Agraria, di antaranya Undang-undang Kopi dan Undang-undang Gula, seiring pemberlakuan Tanam Paksa di akhir abad 19. Artinya, manakala para orang kaya di Eropa, Belanda terutama, menikmati sedapnya kopi sambil merem-melek, ada ribuan orang ‘Hindia Belanda’ mengalami penindasan, melarat dan lapar karena keharusan menanam kopi, alih-alih bertanam padi. Di Priangan, pada itu sampai muncul lagu rakyat “Dengkleung Dengdek”’, yang syairnya bila dicermati berisikan cerita kepedihan Tanam Paksa.

Cerita kopi Jawa tentu tidak berawal dari undang-undang yang dipaksakan Van Den Bosch itu. Belanda melalui VOC-nya sudah mulai menanam kopi pada 1699, dan sejak saat itu monopoli Yaman dalam komoditas kopi pun berakhir. Ada Jawa yang merusak monopoli tersebut, meski keuntungan yang didapat tak pernah masuk kanjut kundang petani kopi di Jawa—Priangan khususnya, melainkan memperkaya elit VOC.

Di dunia perkopian–dunia kecil para barista–dikenal resep kopi Mocha-Java. Bahkan barangkali, inilah first blend di dunia para penyeruput, mengingat sejarah tua kedua ‘jenis’ kopi tersebut. Konon, campurannya adalah 50-50. Hanya kabarnya campuran itu kini kian sukar ditemukan.

Ada dua alasan untuk hal itu. Pertama, kopi Yaman kian hari semakin sulit didapat. Tak hanya setelah sejak dekade pertama millennium baru ini, Yaman terus-menerus dilanda peperangan, yang kurang memungkinkan petani kopinya produktif menanam. Apalagi kita tahu, sebelum dinikmati biji kopi haruslah dikeringkan dengan sinar matahari, dijemur lebih dulu. Sangat mungkin petani kopi Yaman berpikir bagaimana mungkin mereka menunggui jemuran kopi di antara jatuhnya bom dan rudal di sana-sini. Ini memang pikiran konyol, mengandaikan kopi kering karena dijemur—yang kian modern tentu saja tidak demikian. Kekurangan kopi Yaman kabarnya terjadi sebelum perang saudara di sana berkecamuk.

Ada lagi alasan kedua yang membuat campuran fifty-fifty itu bahkan disebut-sebut hampir mustahil ditemukan.  Jika Anda pergi ke kedai kopi lokal dan memesan mokha, biasanya yang akan Anda terima adalah semacam campuran kopi dan cokelat.  Jika pun diberi kopi asli tanpa campuran, kemungkinan besar yang disebut kopi mocha saat ini pun bukan merupakan kopi hasil tanaman petani Yaman di tanah kering gersang yang mempengaruhi mutu kopi tersebut. Bisa jadi bahkan ‘Java’ pun tidak lagi menunjukkan kopi yang datang dari Jawa.

Sejak abad-abad lalu, sebuah komplotan tak rahasia yang beranggotakan pengekspor kopi, grosir, dan pengecer, demi menghasilkan lebih banyak keuntungan telah memanfaatkan nama merek Mokha dan Jawa dengan menempelkan kedua nama itu pada kopi-kopi yang bukan datang dari Yaman atau Jawa.

Semua itu makin menjadi-jadi dengan pemberlakuan Pure Food and Drug Act oleh Kongres AS pada 1906. Undang-undang itu mengharuskan kopi diberi label oleh  dan berdasarkan pelabuhan keberangkatannya. Akhirnya hal yang ‘subversif’ pun terjadi: katakanlah, berkarung-karung kopi Brasil datang ke pelabuhan Mokha di Yaman, yang kemudian mengirimkannya ke Amerika Serikat. Nah, kopi itu pun secara ‘legal’ dinamakan kopi Mokha, sesuai pelabuhan keberangkatannya.

Memang masih ada yang menjual kopi mokha asli—setidaknya berdasarkan pengakuan penjualnya. Mereka bahkan membuat situs webb, Al-Mokha, yang berisi tak hanya urusan jual-menjual kopi, melainkan segala literasi mengenai kopi Yaman. Konon kata penjualnya di internet, Al Mokha adalah merek kopi yang benar-benar ditanam di dan dijual oleh kalangan petani Yaman. Tapi ya…entahlah.

Namun buat apa susah-susah mencari kopi luar manakala kopi tanaman saudara sendiri di Indonesia begitu banyaknya? Setidaknya, janganlah tergantung, cukuplah kopi mokha itu dinikmati sesekali saja.

Lebih baik kita minum banyak-banyak kopi asi Indonesia—kopi Java, yang justru di luar negeri menjadi produk yang banyak didamba. Saat “halan-halan haratis” (HHH) ke Ukraina sebelum perang, saya menemukan betapa banyak gerai ‘Aroma Kava’ di ibu kota Kyiv. Itu mengingatkan saya pada ‘Kopi Aroma’ di Bandung, yang konon bahan dasarnya adalah biji kopi Indonesia. Kadang kita perlu mengantre bersama sekian banyak anak-anak milenial Kyiv hanya untuk mendapatkan segelas kertas besar yang dihargai, kalau tak salah, 20 Hryvnia.

Jika anak-anak muda Kyiv itu saja begitu menikmatinya, mengapa kita sebagai ‘pemilik’ aslinya tidak? [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button