Gaya hidup frugal living menjadi pilihan dan kerap diperbincangkan belakangan ini. Banyak warga kini lebih memilih menahan hasrat berbelanja mereka. Kondisi perekonomian menyebabkan warga menerapkan gaya hidup tersebut sebagai upaya ‘menyelamatkan diri’. Namun ada ancaman bagi perekonomian.
Nita (25), salah satu karyawan swasta memilih menerapkan gaya hidup frugal living. Gaji sesuai standar upah minimun regional (UMR) dan kebijakan pemerintah yang tidak menentu menjadi alasan dirinya enggan menghabiskan uang dengan berbelanja.
“Sejak akhir tahun lalu sampai sekarang, pemerintah lagi enggak jelas mau ke mana arahnya. Kebijakan terus berubah membuat khawatir kita-kita yang kerjaannya belum tetap gini. Jadi mending tahan-tahan pengeluaran dan disimpan sama investasi buat jaga-jaga,” ujarnya.
Nita mengungkap dirinya lebih memilih menaruh uang dalam bentuk tabungan atau investasi. Menurutnya, keputusan tersebut merupakan cara teraman agar dirinya bisa bertahan hidup.
Hal serupa dilakukan Tasya (30) seorang PNS. Ia mengungkap alasan dirinya menerapkan frugal living. Selain karena ikut-ikutan trend, ia mengaku merasa lebih terjamin kondisi keuangannya bersama keluarga di masa mendatang. “Iya (hidup frugal living) soalnya pengen cari aman. Semuanya pada naik, jadi disimpan saja uangnya,” ungkap Tasya.
Alih-alih uang mereka habis akibat tingginya pajak, masyarakat kini lebih memilih menahan hasrat berbelanja mereka. Terbukti dari pantauan media sosial, khususnya X, gaya hidup frugal living menjadi salah satu topik yang kerap diperbincangkan belakangan ini. Tidak sedikit dari mereka yang memberikan masukan dan saran bagaimana menerapkan gaya hidup tersebut sehingga bisa saling “menyelamatkan diri”.
Gaya hidup ini bisa dibilang sebagai respons terhadap kondisi ekonomi bangsa yang tengah terombang-ambing. Bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan serangkaian kebijakan pemerintah yang dinilai ‘memberatkan’ rakyat dari mulai harga-harga yang makin tinggi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang merajalela hingga tingginya biaya pendidikan. Belum lagi kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) di awal tahun, efisiensi anggaran, serta kemerosotan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru-baru ini.
“Perubahan kebijakan publik yang terjadi dalam kurun waktu berdekatan tersebut mempengaruhi daya beli masyarakat,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengutip pernyataan di sebuah media.
Ini terjadi bukan tanpa alasan, berbagai pungutan pemerintah kepada publik menjadikan mereka enggan menghabiskan uangnya untuk berbelanja. Artinya pungutan dan tarif yang terlalu banyak membebani, terutama terhadap masyarakat kelas menengah. “Ini kurang begitu bagus untuk mendorong confidence, atau kepercayaan masyarakat untuk berbelanja,” tambah Bhima.
Berpikir Kebaikan untuk Perekonomian
Melihat fenomena ini, masyarakat menilai negara tidak bisa menjamin kesejahteraan mereka. Rakyat dipaksa untuk mengeluarkan uang seminimal mungkin meskipun mereka masih mampu menggunakan secara wajar uang mereka di dalam negeri. Tentu, kondisi ini berbahaya bagi ekonomi bangsa.
Frugal living bisa memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian terutama dalam konteks ketergantungan pada konsumsi domestik. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi bisa melambat akibat pengurangan konsumsi dan berdampak negatif terhadap PDB atau bahkan mengancam terjadinya kontraksi. Pengurangan belanja ini juga bisa memperburuk kondisi ekonomi jika tidak ada upaya pengganti yang efektif, seperti peningkatan investasi atau ekspor.
Di sisi lain, frugal living ini juga bisa mempengaruhi jumlah investor yang ingin menanamkan modal mereka di Indonesia. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang lambat memungkinkan investor mengurungkan niatnya untuk berinvestasi pada negara yang tidak bisa memberikan jaminan keuntungan.
Lebih buruknya lagi, berkurangnya investasi dapat memperlambat proyek-proyek infrastruktur yang penting untuk pertumbuhan ekonomi, seperti pembangunan jalan, transportasi, atau teknologi. Penurunan konsumsi juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pengangguran, menurunkan investasi, dan mengurangi pendapatan negara dari pajak.
Dengan berbagai dinamika frugal living, Bhima menyarankan agar masyarakat bisa secara wajar mengeluarkan uang mereka. Menurutnya, penerapan gaya hidup ini tidak semestinya menyiksa diri sendiri yang justru berdampak pada meningkatnya biaya kesehatan.
Melakukan frugal living memang tidak dilarang. Namun alih-alih menghabiskan uang mereka untuk berbelanja, masyarakat bisa meningkatkan donasi untuk membantu sesama. Donasi yang tinggi merupakan salah satu prestasi yang dimiliki Indonesia.
Laporan tahunan Charity Aid Foundation (CAF) tentang indeks kedermawanan atau World Giving Index (WGI) 2024 mengungkapkan, dari survei yang dilakukan kepada 145.000 responden di 142 negara, Indonesia meraih skor WGI sebesar 74 poin, melampaui Kenya (63 poin) dan Singapura (61 poin) yang masing-masing berada di posisi kedua dan ketiga. Dalam laporan ini menunjukkan Indonesia untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut dinobatkan sebagai negara paling dermawan.
Jadi, ada baiknya Nita dan Tasya lebih bijak melakukan frugal living. Lebih baik, mereka berinventasi di akhirat dengan melakukan kebaikan lewat donasi kepada sesamanya. Pada akhirnya akan membantu meringankan beban hidup orang lain dan tentu saja membantu konsumsi masyarakat tetap tumbuh.