Market

Gagal Jaga Minyak Goreng, Peneliti UI Sarankan Cabut DMO dan DFO Sawit

Jumat, 16 Sep 2022 – 19:52 WIB

Harga merosot, petani sawit meringis.

Hasil kajian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI), menyatakan, aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) tidak ada kaitannya dengan kapasitas produksi minyak goreng di dalam negeri.

Hal itu disampaikan Eugenia Mardanugraha, peneliti dari FEB-UI dalam Webinar Forum Jurnalis Sawit (FSJ), Jakarta, Jumat (16/9/2022). “Hasil kajian kami memang tak ada kaitannya. Bahwa DMO dan DFO tidak ada hubungannya dengan ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri,” papar Eugenia .

Selanjutnya dia mengusulkan agar pemerintah segera menghapus beleid DMO dan DFO di sektor perkelapasawitan. Karena, menimbulkan risiko ketidakpastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit.

“Selama lebih dari 6 bulan diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini justru membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia,” papar dosen FEB-UI itu.

Bahkan, kata Eugenia, dampak pemberlakuan DMO dan DPO, harga tandan buah segara (TBS) sawit di level petani anjlok signifikan. Akibatnya, petani mandiri mengalami kerugian yang cukup besar. Bahkan, banyak petani tak mau memanen TBS karena rendahnya harga.

Hal ini, kata Eugenia, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan. “Karena terbukti inefiensi, Sebaliknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” kata Eugenia yang juga Ketua Tim Peneliti LPEM UI.

Eugenia juga berpendapat, kebijakan DMO tidak menurunkan harga minyak goreng, namun menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Eugenia, kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional.

Naiknya migor juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan. Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April-22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3 persen.

Pernyataan senada dikemukakan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung. Bahwa, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah di era Mendag M Lutfi, terbukti menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.

Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.

Tungkot menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). Kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.

“Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa baru diturunkan pelan-pelan,” katanya.

Tungkot sependapat, kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia.  Apalagi, saat ini penurunan harga CPO dunia memungkinkan harga minyak goreng curah berpotensi di turun dibawah harga eceran tertinggi (HET).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button