News

Ganjar Pranowo dan Nasib PDIP Pasca Megawati

Pernyataan keras Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada Pembukaan Rakernas partai di Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (21/6/2022) lalu, barangkali terdengar terlalu lugas bagi sebagian rakyat Indonesia. Tetapi bagaimanapun, apa yang dikatakan Megawati benar adanya.

Mega benar manakala ia mengancam tegas kader partai yang bermanuver, bermain dua atau bahkan tiga kaki, dengan ancaman pemecatan. “Tidak ada di PDI Perjuangan untuk main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver. Karena saya diberi oleh kalian hak prerogatif, hanya ketua umum yang menentukan siapa yang akan dicalonkan menjadi presiden dari PDI Perjuangan,” kata Megawati.

Saya katakan benar karena memang sikap tegaslah yang harus diambil Mega saat ini. Dengan begitu, implikasinya keluar akan membuat orang luar PDIP tidak akan semena-mena dan underestimated memperlakukan partai tersebut. Sebab, alangkah akan jatuhnya kredibilitas PDIP, partai politik yang dibesarkan dengan segala ujian dan perjuangan di masa lalu, manakala ia membiarkan diri tak merespons dengan tegas ‘tekanan’ yang dilakukan orang luar partai, outsider. Pihak yang saya maksud tentu saja terang benderang, seiring pemberitaan massif di media massa berkaitan dengan kelompok relawan yang tampaknya mendesak PDIP untuk memilih Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari partai moncong putih itu.

Sementara ke dalam PDIP, statement Mega yang dilanjutkan dengan mengingatkan kader pemain dua kaki untuk mengundurkan diri sebelum dipecat, akan menguatkan soliditas semua unsur partai. Dengan begitu, Mega menegaskan bahwa kepemimpinannya masih kokoh kuat. Apalagi ditambah dengan beredarnya video saat dirinya menerima Presiden Jokowi seiring perhelatan tersebut. Meski video yang beredar itu terasa kurang elok dilihat karena mengacaukan kedudukan Presiden dan Ketua Umum partai, tak bisa dinafikan adanya kesan kuat bahwa kuasa Mega seolah di atas kuasa Jokowi.

Wajar bila tokoh sekelas Rizal Ramli, yang dalam dirinya terpadu unsur intelektual, tokoh politik dan aktivis sejak mahasiswa, memuji sikap terbuka dan lugas Megawati tersebut. “Mbak Mega tegas banget, ndak tedeng aling2, tapi memang benar,”cuit Rizal Ramli pada akun twitternya @RamliRizal, di hari yang sama.

Sikap Mega tersebut sejalan dengan prediksi penulis sebelumnya bahwa alih-alih Megawati tersudutkan dalam konflik partai seputar penentuan calon presiden dari PDIP—sebagaimana diyakini sebagian pengamat politik–, yang ada justru Mega bisa mengambil ‘manfaat’ dari friksi tersebut.

Saat itu saya mengatakan, dukungan terhadap Ganjar yang sepertinya datang dari oligarki, akan menguatkan posisi politik Megawati dan PDIP di mata rakyat. Malahan, dukungan itu justru menempatkan Ganjar pada posisi sulit, yakni akan sangat kuat terbaca bahwa dirinya seolah tak lebih dari mainan oligarki yang tak hanya ingin mengambil kekuasaan di PDIP, melainkan kekuasaan lembaga eksekutif tertinggi negara ini.

Berkaitan dengan adanya pihak yang menyatakan bahwa PDIP akan menyia-nyiakan tingginya elektabilitas Ganjar bila tidak memilihnya sebagai Capres, tampaknya kita harus mencermati pendapat jernih dari komunikolog nasional, Emrus Sihombing. Dalam sesi tanya jawab di Radio Elshinta, Emrus membenarkan tingginya elektabilitas dan popularitas Ganjar. Tapi, kata dia, apakah benar bila kita semua memilih Presiden atas dasar kuantitatif, sisi elektabilitas dan popularitas semata?

Pertanyaan retoris itu dijawab sendiri oleh Emrus dengan penolakan. Menurut pengajar Universitas Pelita Harapan tersebut, saat ini publik pun mafhum, elektabilitas dan popularitas bisa dibikin dengan wacana publik serta viralisasi via media sosial. Tidak jarang, untuk itu dipakai mesin dan akun-akun robot. “Ini kan jelas sebuah manipulasi persepsi publik,” kata dia. Karena itu Emrus menegaskan, sebaiknya kita tak lagi memilih Presiden mendatang hanya atas dasar popularitas dan elektabilitas, melainkan seharusnya atas dasar kualitas tokoh tersebut.

“Orang berkualitas itu ibarat padi, saat berisi ia tunduk, hanya bila kosong padi justru mendongak,” kata Emrus. Dia juga mewanti-wanti bahwa saat ini banyak pemimpin yang justru sangat menikmati popularitas dan elektabilitas tersebut, dan antusias melakukan apapun untuk meraih kedua hal itu.

Untuk itu, Emrus berpesan sebaiknya masyarakat lebih jeli. “Lihat, apakah di wilayahnya persoalan relative sudah tak ada atau sangat berkurang, lalu bagaimana jumlah dan proporsi rakyat miskin di sana, dan sebagainya. Sebab yang selalu diblow-up dan dibesar-besarkan tentu saja hanya cerita sukses yang bersangkut-an,”kata dia.

PDIP Pasca-Megawati

Membicarakan PDIP tanpa merunut sejarah dan sosio-kultural partai tersebut tampaknya akan menghasilkan penilaian yang bias, kalau pun kata sia-sia tidak dibolehkan untuk itu. Bias, karena paling tidak si pemerhati akan segera terjebak pada fakta betapa terkesan ganjil sebuah partai yang melekatkan terma ‘demokrasi’ pada namanya, justru menjadi partai yang sejak didirikan pada 1999 hingga hari ini Ketua Umumnya tak pernah berubah.

Megawati telah berada di kursi Ketua Umum selama 23 tahun. Belum lagi kalau kita menghitung kepemimpinan Mega itu mulai dari keberhasilannya memenangkan kursi partai pada tahun 1993, saat mengalahkan kandidat pilihan Soeharto, Soerjadi.

Tetapi tentu saja, bila dikaitkan dengan demokrasi sebagai kekuasaan yang didasarkan pada kehendak dan aspirasi rakyat, yang terjadi di PDIP justru menegaskan bahwa di sana kehendak rakyat sangat dihargai. Bahkan penghargaan akan kehendak rakyat itu jauh melampaui aturan-aturan teknis seperti batasan termin kepengurusan, misalnya.

Tanyalah kader-kader PDIP, mereka akan menjawab bahwa keberadaan Megawati yang tetap berada di pucuk pimpinan partai, adalah pilihan sejati dari warga PDIP sendiri. Bahwa di dalam pilihan tersebut terkesan sarat dengan kekhawatiran, itu soal lain. Dan kekhawatiran itu sendiri memang datang dari kepedulian yang kuat dan tulus akan nasib partai.

Bagaimana pun PDIP saat ini adalah manifestasi dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno di masa lalu. Sementara, PNI sejak didirikannya pertama kali adalah partai yang mampu menjadi rumah para nasionalis. Hanya di era Pak Harto, wadah golongan nasionalis yang saat itu bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) itu, tampaknya, kurang mampu merepresentasikan diri sebagai rumah para nasionalis tulen.

Alhasil, PDIP adalah produk politik aliran, dengan warga yang mayoritas penganut politik aliran pula. Semua itu terlihat dari kuatnya fanatisme di PDIP, yang menjadi ciri paling utama dari politik aliran.

Kekhawatiran itu dirasakan bahkan oleh para kader muda PDIP, misalnya, Masinton Pasaribu. Masinton adalah kader PDIP yang datang dari aktivis mahasiswa 1998. Kepada kanal YouTube Refly Harun, Masinton mengangkat contoh Jusuf Kalla (JK). JK sempat terlempar keluar dari Partai Golkar pada Pemilu 2004 karena ia memilih meneruskan langkah berkontestasi di Pilpres dengan menjadi pasangan SBY. Sementara saat itu Partai Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid.

“Tapi ketika jadi Wakil Presiden, JK langsung terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar,” kata Masinton. “Jadi siapa pun yang menjabat, sepertinya sangat mudah mengambil-alih kepemimpinan parpol. Saya menangkap pesan Bu Mega, jika Ganjar naik, (ia) akan menghabisi trah Soekarno,” Persoalannya, kata dia, saat itulah PDIP bisa ‘habis’.

Masinton lebih lanjut menyatakan, sebenarnya yang khawatir bukan Megawati, melainkan para kader partai. Kader partai menghendaki agar PDIP tetap berjalan dengan trah Bung Karno, karena,”Itu adalah roh dari ideologi perjuangan partai,” kata dia.

Barangkali, Masinton dan para kader PDIP lainnya pun sadar, PDIP tak bisa seterusnya melangkah tegap di jalan konvensional—kalau bukan justru feodal—seperti itu. Tapi tentu saja, sebagai orang dalam, merekalah yang paling tahu kapan waktu yang paling pas untuk itu. Dan bila kita sebagai orang luar kemudian melihat terjadinya riak-riak seiring pencalonan Ganjar, itu artinya era tersebut belum lagi datang.

Sementara menunggu waktu, kita akan terus menyaksikan kongres PDIP secara konsisten memilih Megawati sebagai pemimpin “secara aklamasi”. Tidak akan ada seorang pun di internal PDIP yang akan menantang kepemimpinannya, bahkan anak muda dengan hati yang pepak sesak dengan ide revolusi seperti mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko, sekali pun. Dan Budiman tentu saja tidak salah. Bukankah ada adagium terkenal yang popular di kalangan aktivis? After thirty there is no revolutionary, karena prioritas kini sepenuhnya menggumpal pada anak-istri.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button