Kanal

PDIP “Sendirian”: Beda 2019, Beda 2024

Melihat komposisi koalisi partai politik di Pilpres 2024, PDIP jadi satu-satunya partai yang ‘ditinggal’ sendiri. Kenyataan ini berbeda jauh saat koalisi parpol di Pilpres 2019, bersama Jokowi-Amin, PDIP menjadi motor penggerak parpol koalisi untuk kembali keluar sebagai pemenang.

Pilpres 2019, PDIP bersama Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, PKB dan PKPI. Memang PPP dan Hanura masih setia di pilpres kali ini, tapi diprediksi suara parpol tersebut tak sebaik pemilu sebelumnya.

Pilpres 2024, PDIP sebagai partai pemenang pemilu, mendapat dukungan tambahan dari Perindo, yang mencoba peruntungan masuk parlemen di bawah Hary Tanoesoedibjo.

Hanya PPP saja yang masuk dalam daftar parpol parlemen, Hanura dan Perindo masih harus berjuang menembus gedung DPR, sembari menyokong duet Ganjar-Mahfud sebagai capres-cawapresnya.

Sementara Golkar, Nasdem dan PKB yang suara dan massanya cukup signifikan di 2019, memilih jalan berbeda, mencari kemenangan di tempat lain. Golkar gabung Gerindra dukung Prabowo, sementara PKB dan Nasdem menyokong Anies Baswedan.

Kondisi ini seakan menandakan PDIP ditinggalkan di pilpres kali ini. Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ade Mulyana mencermati fakta politik ini sebagai akibat dari memanasnya hubungan Jokowi dan Megawati.

Jokowi yang jadi presiden dua periode, sudah cukup punya kekuatan untuk tidak selalu tunduk pada arahan Megawati yang dinilai sebagian publik merendahkan marwah presiden Indonesia.

“Ya sebenarnya kondisinya sudah kelihatan sejak lama, salah satunya kalau kita ikuti perlakuan Ibu Megawati ke Pak Jokowi yang memang selalu menganggap tanpa PDIP Jokowi bukan siapa-siapa,” kata Ade Mulyana kepada Inilah.com

Beberapa peristiwa politik semakin menguatkan indikasi Megawati dan Jokowi tak lagi sejalan. Sikap politik Jokowi yang meninggalkan PDIP dan Megawati, tampak jelas dari arah dukungan pada relawannya.

Ada juga peristiwa penetapan capres dari PDIP ke Ganjar Pranowo saat Jokowi pulang ke Solo, tak juga dilibatkan untuk berembuk menentukan capres penerusnya dari PDIP.”Akhirnya dari yang sudah balik ke Solo tiba-tiba dipanggil ke Jakarta untuk deklarasi. Kan ini menggambarkan bahwa Pak Jokowi ini seolah-olah tidak diajak bermusyawarah untuk kira-kira siapa yang akan diusung,” ungkapnya.

Ade juga melihat ruang gerak Jokowi sebagai presiden yang diusung dua kali oleh PDIP, dibatasi. Hal itu dapat disaksikan saat Jokowi mau berkomunikasi politik dengan Ganjar, harus lewat Megawati dulu.”Jadi memang Pak Jokowi ini kurang nyaman kalau berkomunikasi dengan Pak Ganjar. Kemudian juga kira-kira nanti kalau beliau dukung Pak Ganjar apa saja kerjasama yang bisa mereka buat ini kan Pak Ganjar terkesan tidak bisa menggaransi itu karena dia juga harus berkomunikasi dulu dengan partai atau dengan Ibu Mega karena kan memang dari awal Pak Ganjar ini disebut petugas partai,” bebernya.

Kondisi ini jauh berbeda saat Jokowi harus berkomunikasi, bertemu, dengan Prabowo Subianto. Tak ada sekat ketika harus berbicara soal rencana kebijakan ke depan, serta tentunya ketua umum partai (Red-Gerindra).

“Jadi memang hal-hal seperti itu yang sekarang yang sebelum-sebelumnya mendasari yang akhirnya Pak Jokowi lebih nyaman berkoalisi dengan Pak Prabowo ketimbang bergabung dengan koalisi PDIP untuk mengusung Pak Ganjar dan Pak Mahfud,” tandasnya.

Soal partai, PDIP nyatanya adalah partai pemenang dalam dua kali pemilihan langsung rakyat. Sejak 2014-2024, Partai Banteng Moncong Putih itu meraih suara tertinggi di pemilihan legislatif. Suara mayoritasnya, turut andil mengantarkan Jokowi Back to Back sebagai presiden.

Namun sebagai pemenang, sikap PDIP dinilai sombong dan terkesan ingin menang sendiri. Hal itu, diamati betul oleh Pengamat politik sekaligus Dosen Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin.”Karena PDIP dianggap partai pemenang, penguasa, dianggap main sendiri, dianggap sombong ya maka partai-partai lain menjauh. Partai-partai lain malas untuk bisa bersama PDIP, mungkin,” katanya kepada Inilah.com.

“Secara psikologis PDIP berkuasa lalu yang lain dianggap sebagai partai kelas pinggiran. Tentu partai lain nggak mau, maka disitulah partai lain ingin bertarung, berbeda dukungan, berbeda pandangan, berbeda pendapat dan pilihan dengan PDIP,” sambungnya.

Partai Golkar, yang punya pengalaman mengakar di pesta demokrasi tanah air, tentu tak mau hanya jadi follower, meski akhirnya di Koalisi Indonesia Maju (KIM) tidak mendapat kursi cawapres, tapi partai Beringin bisa duduk dan berkomunikasi sejajar dengan Gerindra dan Prabowo Subianto.

“Ya kita tunggu apakah PDIP akan menang lagi tiga kali, atau akan diungguli oleh partai lain. Semua kemungkinan bisa terjadi, bisa unggul bisa dikalahkan sampai tumbang oleh partai lain. Khususnya koalisi yang berpotensi mengalahkan PDIP ya Partai Gerindra begitu,” tandasnya.

Banteng Tidak Cengeng

PDIP tampaknya juga sadar posisinya saat ini yang ditinggalkan sejumlah parpol untuk bertarung di Pilpres, Pileg 2024.

Capres Ganjar Pranowo, juga sudah tahu jika dirinya tak lagi di endorse, malah ditinggal oleh Jokowi yang semula ‘mengangkatnya’.

Namun seperti idiom, politik adalah soal momentum, Ganjar menjadikan momen ditinggalkannya PDIP untuk mengeluarkan serangan balik.

“Banteng ketaton (terluka) itu tidak pernah cengeng. Dia akan keras,” ujar Ganjar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (3/11/2023) malam.

Menurutnya, kader PDIP tak mudah lemah saat menghadapi persoalan. Sebab, mereka sangat solid dan kuat. Hal ini membuat siapa pun tak akan mampu memecah bela tali persaudaraan di antara mereka.”Barang siapa memecah partai ini, Anda berlawanan dengan banteng,” jelasnya.

Begitu juga kata Politikus PDIP, Andreas Hugo Pareira, yang melihat perbedaan sikap dan dukungan partai sebagai hal biasa dalam pemilihan. Menurutnya, partai politik pasti menjadikan pileg dan pilpres sebagai perjuangan puncak dalam tiap musim pemilihan. Sehingga perbedaan yang terjadi, bukanlah permusuhan yang abadi.

“Kalau dalam pileg setiap pemilu pasti berkompetisi. Kalau dalam pilpres tentu masing-masing partai punya pertimbangan atas dukungan tehadap calon presiden. Hal biasa dalam sistem presidensiil multi partai,” kata Andreas kepada Inilah.com.

Peneliti senior LSI Denny JA, Ade Mulyana berpendapat, partai politik dalam berkoalisi yang dipertimbangkan adalah komunikasi dan bagi-bagi peran serta kekuasaan, seperti yang tergambar selama ini dalam perpolitikan Indonesia. 

Jika dalam komunikasi saja sudah tidak seimbang bahkan terkesan merendahkan, maka koalisi sulit terbangun.

“Jadi mungkin kalau partai-partai yang berkoalisi itu, itu mungkin bukan hanya sekedar efek dari Pak Jokowi, tapi bagaimana mereka juga bisa mendapatkan deal-deal politik. Di satu koalisi itu, itu yang mungkin memang menyebabkan partai-partai itu mempertimbangkan untuk masuk ke salah satu koalisi. Jadi memang yang dipertimbangkan utama itu kue-kue kekuasaan, biasanya memang selalu seperti itu.” ungkapnya.

Namun perlu diingat, PDIP sudah 10 tahun menjadi pemenang pesta politik tertinggi di Indonesia, tentu saja jejak-jejak kemenangannya tak akan hilang begitu saja.

“Biasanya kalau kita lihat pemilih berbarengan seperti ini kan ada yang namanya efek ekor jas. Nah jadi sampai saat ini kalau menurut hasil survei LSI memang potensi PDIP memenangkan pemilu tahun 2024 masih tinggi, tapi itu yang kita lihat hanya faktor partainya saja,” tandasnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menerima pendaftaran tiga bakal pasangan capres dan cawapres untuk Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, serta Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Pasangan Anies-Muhaimin diusung oleh Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Ummat.

Pasangan Ganjar-Mahfud diusung oleh DPI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Sementara itu, pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), serta Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang tidak lolos menjadi peserta Pemilu 2024.

KPU RI telah menetapkan masa kampanye pemilu mulai tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, sementara pemungutan suara dijadwalkan pada tanggal 14 Februari 2024.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button