Belakangan ini, istilah self reward semakin populer di kalangan Generasi Z. Dalihnya, “Saya kerja keras, saya berhak mengapresiasi diri!” Belanja impulsif, nongkrong di tempat mahal, dan berburu tren terbaru serta selalu mengikuti gaya kekinian dianggap sebagai hak yang harus dipenuhinya. Alhasil, mereka kemudian terjebak dengan pay later dan cicilan mencekik.
Ramdan, 27 tahun, sadar betul tentang pengelolaan finansial dan pentingnya menyisihkan pendapatannya untuk ditabung. Namun, kebiasaan boros dan sifat impulsifnya sering kali menghalangi niat tersebut. Ia paham betul bahwa keputusannya dalam mengelola keuangan kerap terpengaruh oleh dorongan sesaat.
Bagi Ramdan, seminggu tanpa mengunjungi kafe viral terasa seperti ada yang kurang. Sebagai bagian dari Generasi Z, ia tak luput dari fenomena FOMO (fear of missing out)—rasa takut ketinggalan tren yang membuatnya selalu ingin mencoba hal-hal kekinian, terutama yang tengah ramai di media sosial. Sayangnya, hal ini sering membuat gajinya yang sebatas Upah Minimum Regional (UMR) terkuras demi gaya hidupnya.
“Sering FOMO, datengin cafe yang viral buat coba makanan atau minuman yang katanya enak walaupun harganya juga lumayan. Kadang beli barang limited edition yang katanya must have item jadinya gak sadar cuma ikut-ikutan beli bukan karena butuh tapi biar gak ketinggalan,” ucap dia.
Di era media sosial, gaya hidup glamor dan tren terbaru semakin menjadi tuntutan. Feed Instagram penuh dengan foto nongkrong di kafe estetik, fashion terkini, hingga tiket konser mahal. Ramdan mengakui bahwa tekanan sosial ini sering kali menggiringnya untuk menghabiskan gaji demi tetap “eksis” di lingkungan dan teman-temannya.
Namun, gaya hidup impulsif ini bukannya tanpa konsekuensi. Ramdan kerap merasa menyesal setelah menyadari banyak barang yang ia beli ternyata hanya sesaat relevansinya. “Kadang suka kebablasan. Akhirnya, banyak barang yang enggak terpakai atau cuma sebentar doang hype-nya,” ujarnya.
Tren self-reward semakin populer di kalangan Generasi Z. Dengan dalih mengapresiasi diri setelah bekerja keras, mereka kerap kali tanpa sadar melakukan pengeluaran impulsif. Mereka menghabiskan gaji untuk belanja, nongkrong di tempat mahal, atau berburu tren terbaru. Ramdan menilai self reward menjadi semacam pelarian dari hasil kerja keras.
“Biasanya gampangnya beli makanan mahal atau barang yang lagi diincar,” katanya. “Masalahnya, sering kali self-reward ini nggak terkontrol, jadinya kebablasan. Ujung-ujungnya bikin kondisi keuangan makin ketat, apalagi kalau pakai alasan ‘kan saya kerja capek-capek’.”
Tak jarang, keinginan untuk selalu up-to-date ini membuat mereka terjebak dalam penggunaan paylater dan cicilan yang akhirnya membebani keuangan. Akibatnya baru pertengahan bulan, saldo rekening sudah menipis dan harus bertahan dengan sisa uang seadanya.
“Jadi, sering kali gaji UMR terasa ‘ngepas’ banget. Kalau ada pengeluaran tak terduga atau kebiasaan konsumtif, ujung-ujungnya harus cari tambahan dari pinjol atau paylater buat nutupin akhir bulan,” kata Ramdan. Akibatnya sudah bisa ditebak, self-reward pun bakal berubah menjadi self regret alias penyesalan diri.