Antrean suporter Timnas Indonesia mengular. (Foto: Inilah.com/Harris Muda)
Di tengah sorak sorai puluhan ribu pendukung yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jumat (15/11/2024), ada pemandangan yang mengundang tanya: antrean mengular hingga 100 meter di Plaza Utara. Di antara hiruk-pikuk para suporter, terlihat Hanafi, pria asal Citayam yang sekilas mirip bek Timnas, Jay Idzes, mengusap keningnya yang berkeringat setelah berhasil melewati pos pengecekan pertama.
“Sebenarnya Garuda ID ini ide yang bagus, tapi masih perlu penyempurnaan. Antrean panjang begini bikin repot, terutama yang belum paham teknologi,” katanya sambil tersenyum lelah.
Sistem Garuda ID, dengan face recognition dan pengecekan identitas, menjadi tiket masuk utama bagi para pendukung. Namun, seperti sebuah pertandingan baru, ada saja “kick-off” yang terasa canggung.
Langkah Awal yang Berat
Garuda ID diperkenalkan oleh PSSI sebagai sistem wajib untuk semua penonton. Dengan klaim meningkatkan keamanan dan kenyamanan, platform ini dirancang untuk meminimalkan kericuhan, seperti kehadiran penonton tanpa tiket di laga-laga sebelumnya. Namun, implementasinya di GBK membuka sisi lain dari narasi tersebut.
Antrean panjang di pintu masuk tidak hanya menjadi ujian bagi fisik, tetapi juga kesabaran. Pengecekan pertama, yang melibatkan pemindaian tiket, identitas, dan wajah, terasa seperti labirin bagi sebagian orang. Jika sistem gagal mencocokkan data, penonton harus rela antre lagi di tenda help desk. Bagi Hanafi, ini seperti “menembus tembok pertahanan lawan sebelum bisa menyaksikan pertandingan.
![Jay Idzes KW, Hanafi Noviansyah, menyaksikan laga Indonesia vs Jepang. (Foto: Inilah.com/Harris Muda)](https://i3.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/11/cba23e91_8452_41ee_8460_cf246c5af5ac_c13a938d10.jpeg)
“Kalo bisa, sistem face recognition-nya diperbaiki seperti punya KAI, biar lebih lancar dan cepat,” imbuh Hanafi, menyoroti kelemahan teknis yang kerap memperlambat alur masuk.
Dilema Penonton Internasional
Tidak hanya penonton lokal, kendala serupa dirasakan oleh penonton internasional. Hiroaki Kato, penyanyi asal Jepang yang menetap di Indonesia, berbagi cerita tentang kebingungan warga Jepang yang mencoba membuat Garuda ID.
“Banyak DM masuk ke aku, mereka bingung cara bikin akun. Padahal, mereka cuma mau nonton satu pertandingan,” ujar Kato.
Melalui blog dalam bahasa Jepang, Kato membantu para penggemar memahami prosedur Garuda ID. Namun, dia mengakui, bagi mereka yang hanya sesekali datang ke Indonesia, urgensi pembuatan akun ini dirasa kurang relevan.
“Kenapa harus bikin ID hanya untuk satu pertandingan?” tanyanya, menggambarkan keheranan banyak pengunjung asing.
PSSI mengklaim bahwa Garuda ID adalah langkah besar menuju ekosistem sepak bola yang lebih aman. Dengan lebih dari 100 CCTV berteknologi face recognition, sistem ini diharapkan dapat mencegah masuknya penonton ilegal. Namun, seperti pertandingan yang sulit ditebak, sistem baru ini masih butuh banyak perbaikan.
Di satu sisi, suporter seperti Hanafi melihat potensi positif.
“Bikin lebih kondusif ya, karena sebelumnya sering ada yang masuk tanpa tiket,” katanya. Namun, di sisi lain, antrean panjang dan kerumitan teknis memunculkan tanda tanya besar: apakah Garuda ID mempermudah atau justru memperumit pengalaman menonton?
Babak Baru Menanti
Seperti sebuah turnamen, penerapan Garuda ID adalah proses yang berkelanjutan. PSSI masih punya waktu untuk memperbaiki kekurangan sebelum laga berikutnya. Dengan peningkatan teknologi dan evaluasi berkelanjutan, harapan untuk pengalaman menonton yang lebih lancar tetap ada.
Namun, untuk saat ini, bagi suporter seperti Hanafi dan Kato, perjalanan menuju tribun GBK masih terasa seperti babak tambahan yang melelahkan sebelum akhirnya bisa menyaksikan pertandingan. Mungkin, seperti sebuah tim yang terus berlatih, Garuda ID juga butuh waktu untuk mencapai performa terbaiknya.