‘Nyangoni kere minggat, punya partai geger terus‘ kurang lebih artinya ‘memberi bekal pada orang miskin untuk pergi, memiliki partai berkonflik terus’. Itulah ungkapan KH Hasyim Muzadi ketika menjabat Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) pada Harlah ke-78 NU di Lamongan 2002 silam.
Pernyataan kyai yang wafat pada 16 Maret 2017 itu memiliki makna mendalam dan masih relevan hingga kini. NU dinilainya selalu bernasib apes. Ketika warga NU mendukung partai lain, ternyata tidak banyak timbal balik bagi organisasi Islam terbesar ini. Sementara ketika warga NU mempunyai partai sendiri yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu muncul konflik.
Peristiwa konflik terakhir antara partai dan ormas terbesar di Tanah Air ini adalah antara Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dengan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. Ketum PBNU menuding pembentukan Pansus Hak Angket Haji 2024 DPR dilatarbelakangi persoalan pribadinya dengan Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin.
Seperti diketahui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas adalah adik dari Gus Yahya. Sebagai ‘aksi balasan’ PBNU bakal membuat Tim Lima untuk merebut PKB dari kepemimpinan Cak Imin. Sementara Cak Imin mengelak tuduhan itu. “Enggak ada urusannya dengan PKB atau PBNU, paham?” kata Cak Imin Senin (29/7/2024). Pansus Haji, katanya, dibentuk karena Komisi VIII DPR merasa tak mendapatkan keterangan jelas dari Kemenag, terutama soal pembagian kuota haji tambahan.
Sebenarnya, Gus Yahya maupun Cak Imin merupakan figur yang dekat dengan Presiden ke 4 RI sekaligus pendiri PKB, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Yahya adalah juru bicara presiden saat Gus Dur menjabat. Sementara, Cak Imin adalah keponakan jauh Gus Dur karena merupakan cicit KH Bisri Syansuri yakni besan kakek Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri Syansuri dan Hasyim Asy’ari keduanya pendiri NU. Sedangkan Gus Yahya masih keponakan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, kiai besar dan berpengaruh di NU.
Jejak Konflik Muhaimin-Gus Dur
Konflik hari ini bukan konflik tiba-tiba, bukan ujug-ujug, tapi konflik yang lama. Entah sudah jilid ke berapa perseteruan Cak Imin dengan pengurus NU ini. Kadang memanas, kadang mendingin dan kini mengalami peningkatan eskalasi.
![cak imin gus dur](https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/07/cak_imin_gus_dur_copy_c9adda780e.png)
Jejak geger konflik NU dengan PKB dimulai ketika Cak Imin pertama kali terpilih sebagai ketua umum dalam Muktamar 2005 di Semarang. Sementara Gus Dur menjadi Ketua Umum Dewan Syuro, kedudukan tertinggi di PKB saat itu.
Mengutip buku ‘Jejak Para Pemimpin (2014)’ karya Hanta Yuda, gejolak mulai muncul sekitar Maret 2008 atau setahun menjelang Pemilu 2009. Saat itu, Cak Imin diberhentikan dari jabatan Ketua Umum PKB dalam rapat gabungan dewan syura dan dewan tanfidz yang digelar di Jakarta 26 Maret 2008.
Isunya gara-gara Cak Imin, yang kemudian dibantahnya, dituding tengah menyusun gerakan untuk menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) untuk menyingkirkan Gus Dur. Cak Imin juga dianggap mendekati pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi presiden.
Dalam voting dewan tanfidz dan dewan syuro, dari 30 yang hadir, 20 orang meminta Cak Imin mundur, 5 mendukung MLB, 3 suara menolak MLB dan 2 abstain. “Itu rapat DPP. Gabungan dewan tanfidz dan dewan syura dengan pemungutan suara. Saya tidak ikut-ikut,” kata Gus Dur, dikutip dari Antara, ketika itu.
Cak Imin tak terima karena merasa diangkat lewat Muktamar sehingga pemberhentiannya pun harus lewat forum yang sama sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. “Enggak bisa. Kalau sudah diputuskan mundur ya mundur. Kalau tidak mau mundur ya dipecat, kok repot,” tegas Gus Dur usai acara Kongkow Bareng Gus Dur di Radio 68H, Jakarta, 29 Maret 2008 lalu.
Cak Imin tak diam saja, dan melakukan perlawanan dengan menggugat dewan syura dan dewan tanfidz DPP PKB melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pencopotan Muhaimin Iskandar sebagai Ketum DPP PKB kemudian dibatalkan, dikuatkan putusan kasasi MA No: 441-K/Pdt.Sus/2008 pada 17 Juli 2008.
Akhirnya PKB makin pecah dan masing-masing kubu menggelar MLB. MLB PKB versi Gus Dur diselenggarakan 30 April-1 Mei di Parung. Sementara PKB Kubu Cak Imin menggelar MLB pada 2-4 Mei 2008 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara. Namun, PN Jaksel memutuskan hasil MLB keduanya tak sah karena Cak Imin dan Gus Dur tak hadir dalam MLB satu sama lain, dan memutuskan kepengurusan PKB kembali pada hasil Muktamar di Semarang.
Usai Muktamar di Ancol, kubu PKB Cak Imin lantas mendaftarkan kepengurusan partai ke Kemenkumham. Singkat cerita, terbit Keputusan Menteri No M.HH-70-AH.11.01 Thn. 2008 tanggal 5 September 2008 tentang Susunan Kepengurusan DPP PKB periode 2008-2013 yang mengesahkan PKB di bawah Ketua Umum Cak Imin dan Lukman Edy sebagai Sekjen. Keputusan Menkumham itu lantas digugat kubu PKB Gus Dur ke PTUN Jakarta namun ditolak.
Masing-masing kubu juga sempat mendaftarkan pengurus partainya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bisa ikut Pemilu 2009. Pada akhirnya, PKB pimpinan Cak Imin tetap dinyatakan sah oleh pengadilan saat itu.
Yenny Wahid Ikut Melawan
Sejumlah upaya membangkitkan PKB Gus Dur atau PKB Parung telah dilakukan termasuk oleh putri Gus Dur Yenny Wahid namun tak berhasil. Yenny menegaskan Gus Dur telah dikudeta Cak Imin. Sementara Gus Dur memilih tidak melawan dan mulai perlahan meninggalkan dunia politik hingga wafat pada 2009. Cak Imin pun menjabat sebagai Ketua Umum PKB hingga saat ini.
Namun di balik konflik paman keponakan ini muncul tafsir yang menarik. Ada pendapat konflik secara sengaja diciptakan Gus Dur sebagai proses kaderisasi melalui sebuah dramaturgi. Ini seperti sebuah tradisi di Tebuireng, Jombang. Gus Dur biasa gebrak-gebrak meja, tapi setelah itu seperti tidak ada apa-apa.
![cak Imin gus yahya](https://i3.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/07/Whats_App_Image_2024_07_26_at_16_47_37_d8aa277564.jpeg)
Gus Dur dalam sebuah kesempatan menyebutkan tidak ada apa-apa antara dirinya dengan PKB maupun Cak Imin ketika dilakukan upaya perdamaian. “Bahkan setelah itu Gus Dur dan Muhaimin pulang dalam satu pesawat dan tidak apa-apa,” kata M Mas’ud Adnan, alumni Tebuireng, dalam sebuah diskusi beberapa tahun silam. “Gus Dur sengaja mencipta konflik untuk mengkader kader-kadernya agar siap menjadi pemimpin,” tandasnya.
Konflik terbuka PKB dengan PBNU hingga saat ini masih berlanjut. Akibatnya, NU seperti memiliki dua wajah, yakni jam’iyah keagamaan dan parpol. Hanya saja, meskipun NU sudah memiliki kendaraan politik PKB, namun secara signifikan tidak ada peningkatan kualitas khidmatnya pada umat, bahkan pada NU sendiri.
Konflik yang berlarut di tingkat elit ini malah membuat Nahdliyin jemu. Risikonya, PKB bisa ditinggalkan para simpatisannya. Sementara di tingkat jamaah, acara tahlilan, pengajian, istighostah dan sema’an bisa semakin sepi. PKB dan NU pun bisa-bisa tinggal sorban dan kopiah. Semoga tidak…