Katanya Pahlawan Devisa
Tapi Ternyata Banyak yang Diperkosa
Katanya Mengurangi Pengangguran di Indonesia
Tapi Mereka Harus Meregang Nyawa [Heru Sutadi, Tribute to Siti Zaenab]
Di tengah Pemutusan Hubungan Kerja (PKH) yang menimpa sejumlah pabrik besar di Indonesia sejak awal tahun hingga menjelang lebaran, pemerintah memutuskan mencabut moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi.
Ada 600 Ribu kuota yang disiapkan dengan jaminan keamanan lebih dari kerajaan Arab serta potensi devisa yang masuk mencapai Rp31 triliun!
Namun apakah ini jawaban atas gelombang tsunami PHK yang melanda, sementara masalah tak selesai setelah PHK saja. Banyak investor menahan, atau bahkan menarik investasinya dari Indonesia karena kurang bersaing dengan negara lain, seperti Vietnam misalnya.
Setelah Sritex memecat 12 Ribu karyawannya karena jeratan utang, PT Yamaha Music Indonesia menyusul dengan memberhentikan 1.100 pekerjanya imbas penutupan pabrik. Yamaha Music menutup dua pabrik piano di kawasan Jakarta dan Bekasi. Rencananya, Yamaha bakal pulang kampung atau relokasi ke China.
Belum selesai, berita PHK kembali menyeruak dari pabrik Sanken yang memecat sedikitnya 400 pekerjanya mulai Juni 2025. Tahun lalu, Sanken yang berlokasi Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Bekasi, telah mem-PHK 500 pekerjanya.
PT Tokai Kagu, PT Danbi Internasional Garut, dan PT Bapintri juga ikut menyumbang angka PHK dengan angka kisaran 3.200 pekerjanya.”Total lebih dari 14 ribu pekerja telah dirumahkan akibat penutupan beberapa pabrik tersebut. Jumlah ini mencerminkan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama bagi keluarga-keluarga yang bergantung pada pendapatan dari pekerjaan mereka di pabrik-pabrik tersebut,” kata Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Alifudin.
Dari angka PHK yang banyak dan terus bertambah, bisa jadi membuka keran pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi adalah salah satu jalan keluarnya.
Secara hitung-hitungan jika dibandingkan, angka PHK yang melanda sejumlah perusahaan sekitar 14 ribu pekerja, masih bisa ditutup dengan 600 ribu kuota pekerja migran yang akan dikirim kembali ke Arab Saudi setelah moratorium dicabut.
Akan tetapi, muncul anggapan, alih-alih menciptakan lapangan kerja untuk rakyat sendiri di dalam negeri, pemerintah justru mengambil jalan pintas dengan menyalurkan tenaga kerja di luar negeri.
Koordinator Migrant Care, Muhammad Santosa menilai pencabutan moratorium ini membuktikan kegagalan pemerintah dalam membuka lapangan kerja di dalam negeri. Di matanya, pemerintah seakan gelap mata lantaran tergiur iming-iming jaminan gaji besar dari Arab Saudi.”1.500 Riyal Arab Saudi jelas pemerintah tergiur, kenapa? Karena asumsinya itu sekitar Rp6 juta atau Rp6,5 juta. Nah ini kan ketika membuka lapangan pekerjaan (di Indonesia) dengan gaji segini belum ada, UMR Jakarta saja baru menyentuh angka Rp5,5 juta,” kata Santosa kepada Inilah.com.
Menurutnya, pengiriman pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi, bukan sekadar urusan devisa dan juga lapangan kerja saja. Data dari BP2TKI pada 2023, Arab Saudi bukan tujuan utama PMI dibandingkan negara lain. Jumlah PMI terbesar berangkat ke Taiwan sebanyak 39.178 orang, Hongkong 33.639 orang, Malaysia 38.478 orang, Jepang 4.927 orang, dan Korea Selatan 6.999 orang. Sementara itu, Arab Saudi hanya menerima 2.424 PMI.
Meski jumlah PMI di Arab lebih kecil, negara ini justru mencatat aduan tertinggi dari PMI. Data BP2TKI 2023 menunjukkan pada Juni 2023, terdapat 261 aduan dari PMI di Arab Saudi, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (137 aduan), Hongkong (117 aduan), Taiwan (115 aduan), dan Kamboja (26 aduan).
Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi Nasional (Komnas) HAM, Anis Hidayah menegaskan pemerintah perlu mendengarkan suara dari organisasi PMI, jangan main asal cabut moratorium kerja sama penempatan pekerja di Arab Saudi.
“Penting membuat satu konsultasi publik dengan masyarakat sipil, termasuk juga organisasi pekerja migran untuk memastikan bahwa pertimbangan-pertimbangan organisasi masyarakat sipil, itu menjadi hal yang dicatat oleh pemerintah sebagai suatu masukan, sebelum kebijakan itu final akan diambil kemudian,” tutur Anis kepada Inilah.com.
“Karena Saudi Arabia ini terkenal sebagai satu negara, di mana terjadi pelanggaran HAM-nya cukup banyak ya terhadap warga negara kita yang bekerja di sana,” lanjutnya.
Sepanjang 2012–2023, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 1.219 pengaduan kasus pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Jumlah ini terdiri dari 248 kasus perdagangan orang, 127 kasus pemutusan hubungan kerja sepihak, 92 kasus hilang kontak, 84 kasus kekerasan fisik, 82 kasus terkait sakit, dan 586 jenis kasus lainnya.
Menurut catatan Amnesty International, Arab Saudi merupakan negara ketiga terbanyak yang melaksanakan eksekusi hukuman mati secara global pada 2023 setelah China dan Iran. Arab Saudi menyumbang angka 172 atau 15 persen dari total hukuman mati di dunia pada 2023.
KBRI di Riyadh menyebutkan, jumlah kasus yang dialami pekerja migran Indonesia di Arab Saudi pada 2021 mencapai 1.382 kasus, lalu naik menjadi 1.746 kasus pada 2022, dan meningkat menjadi 2.090 kasus pada 2023. Pengaduan kasus tersebut didominasi masalah ketenagakerjaan dan keimigrasian.
Anis juga mempertanyakan, apakah ada kajian mendalam sebelum mencabut moratorium ini.”Karena moratorium sebelumnya cukup lama dilakukan sehingga membutuhkan suatu kajian kenapa ini dibuka. Lalu apakah ada evaluasi yang sudah dilakukan sehingga ini menjadi dasar, ada perbaikan perlindungan sebelum moratorium dan pasca pencabutan moratorium itu,” jelasnya.
Nilai Ekonomi Tinggi
Moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi telah dilakukan Pemerintah Indonesia sejak tahun 2015 sampai sekarang. Kebijakan itu dilakukan karena adanya penyelundupan sedikitnya 25 ribu orang pekerja setiap tahun yang berangkat ke Arab Saudi secara ilegal atau nonprosedural.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN Ashabul Kahfi memandang rencana Kementerian P2MI untuk mengirimkan 600 ribu PMI ke Arab Saudi perlu dikaji dengan cermat dari berbagai aspek.”Pertama, pencabutan moratorium ini tentu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Selama moratorium berlangsung, banyak warga negara kita yang kehilangan kesempatan bekerja secara legal di luar negeri, sehingga kebijakan ini bisa membuka peluang bagi mereka yang memang berminat dan memiliki keterampilan yang sesuai,” kata Kahfi kepada Inilah.com.
Namun, yang lebih penting adalah memastikan bahwa hak-hak dan perlindungan para PMI ini benar-benar dijamin, baik saat mereka berada di negara tujuan maupun setelah kembali ke tanah air.”Kedua, saya memahami kekhawatiran masyarakat terkait isu PHK massal di dalam negeri. Saya sepakat bahwa pemerintah harus mengedepankan langkah-langkah strategis untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri,” katan Kahfi.
Kebijakan mengirimkan PMI tidak boleh menjadi solusi jangka pendek, tetapi harus diiringi dengan upaya serius untuk mengembangkan sektor industri, UMKM, pertanian modern, dan digitalisasi ekonomi agar peluang kerja di Indonesia semakin luas.”Pemerintah juga harus memastikan bahwa PMI yang berangkat adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dan mendapatkan pelatihan yang memadai agar bisa bersaing di pasar kerja internasional,” ungkapnya.
Sebagai anggota Komisi IX yang bermitra dengan Kementerian P2MI, Kahfi menekankan bahwa kebijakan ini tidak boleh hanya berorientasi pada angka, melainkan harus berbasis pada perlindungan tenaga kerja dan peningkatan kualitas hidup mereka.
Catatan penting sebagai pengingat, pada 1999, Siti Zainab binti Duhri Rupa asal Bangkalan Madura dituduh membunuh majikannya. Pengadilan menjatuhkan vonis hukuman mati pada 2001 dan dia dieksekusi pada 2015.
Lalu pada 2012, Karni binti Medi Tarsim, asal Brebes Jawa Tengah divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan anak majikannya. Eksekusi mati dilakukan pada 2015.
Pada 2018, pemerintah Arab Saudi mengeksekusi hukuman mati buruh migran Indonesia, Tuti Tursilawati. Eksekusi dilakukan tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah Indonesia. Tuti didakwa membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utibi.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai NasDem Nurhadi menilai tak masalah pencabutan moratorium dan pengiriman kembali PMI ke Arab Saudi, asal dengan seleksi ketat.
Namun di sisi lain, pemerintah harus memikirkan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, sebagai simbol investasi.”Ketika gelombang PHK massal terjadi di dalam negeri, hal ini bisa dilihat sebagai indikasi bahwa penciptaan lapangan kerja di dalam negeri masih menjadi tantangan besar,” kata Nurhadi kepada Inilah.com.
Idealnya kata Nurhadi, kebijakan tenaga kerja harus berfokus pada dua hal sekaligus: membuka akses bagi mereka yang ingin bekerja di luar negeri dengan perlindungan maksimal serta memperkuat industri dan investasi dalam negeri agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
“Jika hanya mengandalkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tanpa diimbangi dengan upaya nyata menciptakan lapangan kerja dalam negeri, tentu kebijakan ini dapat dipandang sebagai jalan pintas,” ungkapnya.
Jaminan Perlindungan hingga Hadiah Ibadah
Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) segera membuka nota kesepakatan dalam pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi mulai 20 Maret 2025.
Rencana pembukaan kembali dalam pengiriman PMI tersebut dilakukan kepada 600 ribu orang. Dimana, dari ratusan pekerja itu terdiri 60 persen pekerja di sektor domestik lingkungan rumah tangga dan sekitar 40 persennya di sektor pekerja formal.
Pengiriman pekerja migran ini nantinya bakal disahkan melalui kerjasama bilateral antar negara yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.
Selain itu, dalam kesepakatan kerjasama tersebut para pekerja migran Indonesia akan mendapat upah minimum yang diterima dengan nilai terendah 1.500.000 Riyal Saudi atau sebesar Rp6.300.000.
“Yang kedua, ada perlindungan asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan asuransi ketenagakerjaan. Ada pembagian waktu/jam kerja, jam lembur, dan jam istirahat,” kata Menteri P2MI Abdul Kadir Karding.
Kemudian, lanjut dia, selama proses kerjasama dilakukan, seluruh pekerja migran mendapat integritas data sebagai tenaga kerja resmi oleh pemerintah Arab Saudi dan Indonesia.”Berikutnya adalah dengan terintegrasi data ini Maka yang awalnya tidak prosedural, maka jadi prosedural,” kata dia.
Politikus PKB itu menambahkan, PMI yang menyelesaikan kontrak kerja selama 2 tahun di Arab Saudi juga akan mendapatkan bonus berupa pemberangkatan umrah. Bonus itu akan diberikan langsung oleh pemerintah Arab Saudi.
Kementeriannya saat ini sedang menyiapkan skema pelatihan dan penempatan PMI di Arab Saudi. Namun, sejauh ini, penempatan masih akan diurus oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). P3MI nantinya akan bekerja sama dengan agensi swasta yang diawasi oleh BUMN Arab Saudi, seperti Musanet. Musanet ini nantinya akan menjadi pengontrol dalam memberikan jasa PMI kepada masyarakat Arab Saudi.
“Jadi nanti majikan itu kalau mau mengambil pekerja dia harus daftar dulu ke Musanet. Dia harus punya deposit untuk gaji,” ucapnya.