News

Gerindra Dorong RUU PPP Solusi Tumpang Tindih Aturan

Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui revisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP) dibawa ke rapat paripurna.

Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Pleno Baleg DPR bersama pemerintah, Rabu (13/4/2022).
Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Baleg DPR, Heri Gunawan menyatakan, revisi UU PPP diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi obesitas dan tumpang tindih regulasi.

Mungkin anda suka

“Usaha mengatasi obesitas dan tumpang tindih regulasi sudah dilakukan melalui pembahasan beberapa undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law,” papar Hergun, sapaan akrabnya, Jumat (22/4/2022).

Asal tahu saja, ssat ini, jumlah regulasi mencapai 42.996 buah. Terdiri dari peraturan pusat sebanyak 8.414, peraturan menteri 14.453, peraturan lembaga pemerintah nonkementerian 4.164, dan peraturan daerah sebanyak 15.965.

Dan, sejumlah RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2022, direncanakan menggunakan metode omnibus. Antara lain RUU tentang Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU RPPSK).

“Namun metode omnibus law belum memiliki landasan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bahwa metode omnibus law dinyatakan tidak memiliki dasar hukum. Karena itu, perlu merevisi UU PPP untuk mengakomodir metode omnibus law,” kata Hergun.

Menurutnya, revisi UU PPP perlu mengakomodir revisi penulisan pasca pengesahan UU oleh DPR dan Pemerintah. Serta memperkuat partisipasi masyarakat secara maksimal dan lebih bermakna sebagai wujud keterpenuhan asas keterbukaan.

Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR ini, memaparkan, sebagai tindak lanjut Putusan MK, Baleg DPR mengusulkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) dalam Prolegnas Prioritas 2022. Selanjutnya pada Rapat Paripurna DPR, Selasa (8/2/2022), RUU PPP disahkan menjadi usul iniatif DPR.

“Inisiatif DPR disambut baik Pemerintah yang dengan cepat mengirim Surat Presiden beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sehingga Pembicaraan Tingkat I dapat segera dilaksanakan,” paparnya.

“Pada Rabu (13/4/2022) lalu, Baleg DPR-RI bersama Pemerintah dan DPD menyetujui pembahasan RUU PPP pada pembicaraan tingkat I dan untuk selanjutnya akan dibawa ke pembicaraan tingkat II atau Rapat Paripurna yang kemungkinan besar akan dilakukan pada bulan Mei mendatang setelah masa reses,” lanjutnya.

Ketua DPP Partai Gerindra ini, menjabarkan sejumlah substansi yang telah disepakati masuk dalam pembahasan RUU PPP. Semisal, penggunaan metode omnibus law dalam menyusun rancangan peraturan perundang-undangan (Pasal 64), penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat (Pasal 96), Perbaikan kesalahan teknis penulisan oleh DPR-RI (Pasal 72), dan Perbaikan kesalahan teknis penulisan oleh Pemerintah (Pasal 73), serta Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbasis elektronik (Pasal 97B).

“Selain itu, juga disepakati mengenai penyempurnaan Penjelasan terhadap asas keterbukaan pada Penjelasan Pasal 5 huruf g. Hal tersebut untuk mendukung penguatan partisipasi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan memberi masukan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk Pemantauan dan Peninjauan,” paparnya.

Politisi dari Daerah Pemilihan Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) ini, menjelaskan, ada sejumlah catatan yang ia sampaikan saat pengambilan keputusan RUU PPP pada pembicaraan tingkat I.

Pertama, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan dibentuk landasan hukum mengenai metode omnibus law, maka perlu pengaturan yang lebih terinci terkait mekanisme dan pembatasan penggunannya.

Kedua, lanjut Hergun, keputusan MK mengamanatkan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Amanat ini perlu direspon dengan cermat dan tepat sehingga perlu perumusan yang sesuai dengan yang diharapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pada Pasal 96 Ayat (1) disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian pada Pasal 96 Ayat (4) dinyatakan, Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

“Untuk lebih memudahkan partisipasi masyarakat, selain draft RUU dan Naskah Akademik yang dipublikasikan, perlu juga memuplikasikan seluruh risalah rapat. Hal tersebut sebagai wujud konkrit memberikan akses kepada masyarakat secara lebih komprehensif,” katanya

“Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam penyusunan draft rancangan peraturan perundang-undangan dan naskah akademiknya. Jadi, tidak hanya diberi akses saja sebagaimana ketentuan Pasal 96 Ayat 4. Fase penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU merupakan fase terpenting dari pembentukan peraturan perundang-undangan karena akan membangun pondasi awal sebuah peraturan perundang-undangan,” lanjutnya.

Hergun juga berpandangan hendaknya tidak membatasi hanya masyarakat tertentu yang bisa memberi masukan. Selama senafas untuk kepentingan berbangsa dan bernegara, kami berpandangan seluruh anak bangsa bisa memberi masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, lanjut Hergun, terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik. Sejatinya hal tersebut merupakan kemajuan. Namun, ia berpandangan hendaknya itu dilakukan sebagai langkah terakhir dan dalam keadaan darurat. Meskipun sistem teknologi semakin canggih, namun ada saja orang yang tidak bertanggung jawab yang mampu membobolnya.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button