Pengamat Ekonomi sekaligus Rektor Universitas Widya Mataram (UWM), Edy Suandi Hamid mengungkap sejumlah kegagalan ekonomi Presiden Jokowi. Mulai urusan memerangi kemiskinan, menarik investasi asing masuk hingga pajak. Masih kalau ketimbang era SBY.
Ia menyebut memang secara tren, kemiskinan semakin menurun dari segi jumlah penduduk. Hanya saja, masih jauh dari target RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah).
“Kita lihat hingga jelang akhir masa jabatannya tingkat kemiskinan Pak Jokowi (targetnya) 6,5-7,5 persen dari RPJMN. Saat ini, kemiskinan masih di atas 9 persen. Artinya tidak terwujud target untuk menurunkan kemiskinan,” kata Edy dalam diskusi virtual bertajuk ‘Warisan Ekonomi di Akhir Masa Jabatan Jokowi’, Jakarta, dikutip Senin (8/7/2024).
“Dan, jumlah angka kemiskinan yang turun hanya 300 ribu orang tiap tahun di masa Pak Jokowi ini. Jadi, capaian ini lebih rendah dibandingkan masa SBY, yang mampu menurunkan kemiskinan rata-rata 800 ribu orang per tahun. Artinya, semakin lambat,” lanjutnya.
Dari aspek penanaman modal asing (PMA) atau investasi, lanjut Edy, era pemerintahan SBY cukup mentereng. Kala itu, investasi asing mengalami kenaikan Rp261 triliun. Sedangkan masa Jokowi yang didukung berbagai kebijakan pro-investor, termasuk UU Cipta Kerja Omnibus Law, unggulnya tidak tebal-tebal amat, sebesar Rp284,3 triliun.
“Kemudian kalau kita bicara tentang investasi domestik (PMDN) pada era pak Jokowi, saya kira ini positif. Di masa SBY Rp48,7 triliun, sementara Jokowi Rp220,6 triliun,” ujarnya.
Terkait utang pemerintah saat ini, kata Edy, memang layak disoroti. Karena terjadi lonjakan yang cukup dahsyat saat Jokowi berkuasa. Hal ini, menurut Edy, akan memberatkan APBN dan pemerintahan selanjutnya.
“Jadi sekarang ini kan rutin betul penawaran-penawaran obligasi negara. Akibatnya apa? Debt ratio kita itu juga semakin tinggi pada masa pak Jokowi. Di tengah-tengah investasi yang tidak begitu katakanlah seperti yang kita harapkan, utang yang banyak, tetapi tax ratio kita ini relatif tidak beranjak,” ucap dia.
Dari sisi penerimaan negara khususnya pajak, menurut Edy, tidak ada pertumbuhan yang signifikan. Hingga 2023, rasio pajak atau tax ratio hanya berkutat di angka 10,7-12,3 persen. Artinya, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak masuk dalam kategori wajib pajak.
Yang paling miris, kata dia, praktik korupsi atau penggarongan uang negara di era Jokowi, melesat tajam.
“Katakanlah terjadi pelemahan lembaga yang kita harapkan bisa meredusi terjadinya korupsi KPK). Dengan sangat kasat mata, kebijakan-kebijakan pemerintah justru tidak berpihak kepada upaya untuk memberangus praktik korupsi di Indonesia,” tegas Edy.
“Padahal, pada waktu diskusi presiden yang lalu misalnya, itu banyak dibicarakan tentang incremental capital out ratio (ICOR), membuat satuan investasi kapital yang kita butuhkan sangat tinggi, untuk mencapai target rate of economic tertentu ya,” pungkasnya.