Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan mampu menciptakan produk sawit lebih berdaya saing. Karena sektor ini cukup prioritas dalam menopang perekonomian nasional.
Guru Besar IPB University, Rachmat Pambudy cukup yakin bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran punya komitmen dalam membangun industri sawit di Indonesia. Termasuk memberikan proteksi terhadap sawit yang delalu mendapat gangguan berupa kampanye hitam dari Uni Eropa.
“Kebijakan proteksi dapat dipilih pemerintah karena sawit seringkali dapat gangguan. Karena itulah banyak cara dapat dilakukan untuk melindungi sawit dengan cara aktif dan pasif,” kata Rachmat dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan), Jakarta, dikutip Senin (8/7/2024).
Dia menjelaskan, kebijakan proteksi dan promosi sawit perlu secara aktif dilakukan, melalui dukungan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Food as weapon, sawit itu dapat dipakai secara bijaksana untuk menyerang dan bertahan. Sawit ini luar biasa karena dapat menjadi senjata,” ujar akadesmisi yang dikabarkan bakal masuk kabinet Prabowo-Gibran itu.
Sedangkan, Fenny Sofyan, salah satu ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menyebut industri sawit bukan hanya penting di Indonesia, namun juga level global. “Beberapa tahun lalu sawit menguasai sekitar 50 persen minyak nabati dunia, tapi sekarang bahkan mencapai 60 persen di 2023,” ujar Fenny.
Indonesia, kata dia, adalah pengekspor sawit terbesar di dunia, angkanya mencapai 27 juta ton per tahun. Hanya saja, saat ini, produktivitas sawit nasional mengalami stagnasi produksi, sementara kebutuhan dalam negeri terus meningkat.
“Jadi kita akan menghadapi Indonesia Emas 2045 yang produksi sawit ditargetkan 92 juta ton, tapi tapi jujur saja itu susah untuk menembus itu. Harus ada komitmen bersama,” ujarnya.
Target 2045 tersebut adalah gencarnya hilirisasi, tapi menurut Fenny hulu adalah kunci. Tanpa hulu yang diperbaiki, produktivitas CPO nasional berdampak ke segala lini, mulai dari ekspor hingga subsidi biodiesel.
“Kemudian kalau ekspornya dikurangi, itu juga akan berpengaruh terhadap levy atau subsidi biodiesel. Makanya harus ada yang mengatur agar terjadi konsistensi dan presisten produksi ini,” jelasnya.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, produktivitas sawit petani swadaya saat ini, masih rendah. Sementara, kebutuhan sawit untuk energi di dalam negeri, terus meningkat dengan adanya pengembangan biodiesel (solar campur minyak sawit).
Apalagi, pemerintah berencana terus melakukan pengembangan biodiesel hingga mencapai B50. Produktivitas kebun kelapa sawit yang rendah, mengancam pasokan untuk pemenuhan bahan baku energi maupun pangan.
“Kalau ingin B50, kami khawatir Indonesia menjadi importir CPO 1,2 juta ton per tahun dengan kondisi produksi saat ini,” ujar Gulat.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian (Kementan), Ardi Praptono menjelaskan, upaya meningkatkan produksi dan produktivitas sawit rakyat, trus dilakukan.
Pemerintah terus berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting dan Sarana dan Prasarana (Sarpras).
“Program PSR sangat penting karena berdampak langsung terhadap produktivitas. Sedangkan program Sarpras khususnya intensifikasi juga sebagai upaya peningkatan produktivitas tanaman sawit rakyat,” jelasnya.