Guru Hebat, Indonesia Kuat: Retorika Kosong di Tengah Kesenjangan yang Menganga


Hari Guru Nasional 2024 menyimpan ironi besar di tengah kenyataan pahit: kesejahteraan yang minim, kesenjangan distribusi guru yang mencolok, dan kompetensi yang jauh dari standar. Di balik dedikasi tanpa lelah para pendidik, terselip potret suram tentang ketidakadilan, kurangnya dukungan infrastruktur, hingga kebijakan yang setengah hati, menjadikan perayaan ini lebih sebagai pengingat kegagalan daripada penghormatan.

Hari Guru Nasional 2024 mengusung tema besar “Guru Hebat, Indonesia Kuat.” Namun, di balik gagasan optimis tersebut, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang menonjol. 

Guru, sebagai pilar pendidikan, menghadapi tantangan berat yang berakar pada minimnya kesejahteraan dan rendahnya kompetensi. Hal ini bukan hanya paradoks, tetapi juga ancaman nyata terhadap visi besar mencetak generasi emas pada 2045.

Guru di Wilayah 3T: Potret Ketimpangan yang Mencolok

Guru-guru di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) sering kali harus menghadapi keterbatasan ekstrem. Data dari Kemendikbud tahun 2022 faktanya menunjukkan bahwa 71 persen sekolah di wilayah terpencil belum memiliki akses listrik, sementara 83 persen tidak terkoneksi internet. Kondisi ini menggambarkan ketimpangan yang serius dalam ekosistem pendidikan nasional.

Di Papua, misalnya, rasio guru terhadap siswa bisa mencapai 1:222, jauh dari angka ideal 1:20. Di SD Tolikara, Papua, seorang guru tidak hanya mengajar tetapi juga mengisi banyak peran lainnya, seperti administrasi dan logistik. Beban berlebih ini tentu berdampak pada kualitas pembelajaran yang diterima siswa.

Kesejahteraan yang Masih di Bawah Standar

Masalah kesejahteraan guru tidak kalah mencengangkan. Berdasarkan survei lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), hampir separuh guru di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Lebih mengejutkan, 13 persen di antaranya bahkan berpenghasilan kurang dari Rp500 ribu. Ironisnya, mayoritas guru tetap menunjukkan dedikasi tinggi meski kesejahteraan mereka berada jauh dari kata layak.

“Ini artinya, di daerah dengan biaya hidup terendah sekalipun para guru terutama guru honorer masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” kata Peneliti IDEAS Muhammad Anwar.

Guru honorer adalah kelompok yang paling rentan. Sebanyak 74 persen dari mereka berpenghasilan di bawah Rp2 juta, sementara 20 persen lainnya hidup dengan penghasilan tak lebih dari Rp500 ribu. 

Survei Gaji Guru Honorer di Indonesia . (Foto: IDEAS)
Survei Gaji Guru Honorer di Indonesia . (Foto: IDEAS)

Banyak dari mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan atau bahkan berutang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kompetensi Guru: PR Besar yang Terlupakan

Rendahnya kompetensi guru menjadi sisi lain dari tantangan pendidikan Indonesia. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2019 menunjukkan rata-rata skor guru di seluruh provinsi masih jauh dari standar minimum 75. Bahkan, lima provinsi terbaik hanya mencapai rata-rata skor 60-an. Ini mencerminkan lemahnya sistem pembinaan dan pengembangan guru.

Dalam era digital, penguasaan teknologi menjadi kebutuhan mendesak. Namun, hanya 40 persen guru yang dinilai siap menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran. Hambatan akses terhadap laboratorium komputer dan infrastruktur digital lainnya menjadi salah satu penyebab utamanya.

Kebijakan yang Setengah Hati

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebenarnya memberikan harapan besar bagi kesejahteraan guru melalui mekanisme tunjangan profesi. Namun, implementasinya tersendat oleh proses sertifikasi yang panjang dan kuota terbatas. 

Saat ini, lebih dari 1,6 juta guru masih berada dalam antrean untuk mendapatkan sertifikasi.

Peningkatan gaji melalui tunjangan memang meningkatkan kepuasan guru, tetapi belum berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pengajaran. 

Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang ada masih bersifat tambal sulam, tanpa strategi holistik yang mengintegrasikan kesejahteraan dan kompetensi.

Refleksi Hari Guru Nasional

Hari Guru Nasional seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi arah kebijakan pendidikan di Indonesia. 

Pemerintah perlu mengatasi kesenjangan distribusi guru, meningkatkan kesejahteraan secara berkeadilan, dan membangun sistem pembinaan kompetensi yang berkelanjutan. Tanpa langkah nyata, tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” hanya akan menjadi slogan kosong yang jauh dari kenyataan.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan guru adalah pondasinya. Sudah saatnya pemerintah berhenti memberikan solusi parsial dan mulai membangun sistem pendidikan yang benar-benar memberdayakan guru, baik dari sisi kesejahteraan maupun kualitas. 

Tanpa itu, mimpi besar Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angan-angan tanpa pijakan.