Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, atau Gus Yahya, dalam sebuah pidato di Universitas Princeton, New Jersey, Amerika Serikat, menyoroti penggunaan hak veto oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dan dampaknya terhadap legitimasi PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).
Gus Yahya mengkritik sistem hak veto yang diberikan kepada negara-negara pemenang Perang Dunia II dalam DK PBB, yang menurut beliau, melemahkan legitimasi PBB dalam menegakkan prinsip-prinsipnya.
“Setelah Perang Dunia II, Dewan Keamanan PBB–dengan lima negara pemenang perang sebagai anggota tetapnya–menawarkan mekanisme yang masuk akal dan berpotensi realistis untuk menegakkan Piagam PBB dan UDHR,” ujar Gus Yahya dalam keterangan pers yang diterima inilah.com, Jumat (15/12/2023).
Namun, ia menilai bahwa hak veto tersebut seringkali digunakan untuk melindungi kepentingan nasional atau sekutu negara anggota, yang bertentangan dengan konsensus internasional.
Beliau juga menyoroti peran besar negara-negara Barat dalam membentuk tatanan internasional pascaperang dan bagaimana kekuatan ini kini mengalami kemunduran.
“Namun, ketika negara-negara lain memanfaatkan peluang yang diberikan oleh keterbukaan, keamanan, dan stabilitas sistem internasional pascaperang, kekuatan Barat yang tadinya hegemonik kini mengalami kemunduran, dan dunia multi-kutub pun mulai muncul,” terangnya.
Lebih lanjut, Gus Yahya menganggap situasi ini berbahaya, terutama karena penyalahgunaan kekuatan politik dan militer.
“Di tengah dunia yang semakin multi-kutub, kekuatan Barat dan budaya Barat saja tidak cukup untuk mempertahankan, apalagi menguatkan dan meningkatkan, tatanan internasional berbasis aturan yang didedikasikan untuk menjaga kedaulatan nasional dan hak asasi manusia,” jelas beliau.
Meski demikian, Gus Yahya tetap optimis akan adanya harapan dalam mengatasi tantangan ini. Ia mendorong kerja sama antarumat manusia dari berbagai agama dan negara untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil dan harmonis, yang menghormati persamaan hak dan martabat setiap individu.
“Salah satu langkah penting adalah menyelaraskan ajaran agama kita dengan konsensus internasional yang muncul setelah Perang Dunia Kedua dan memobilisasi komunitas kita masing-masing untuk membangun tatanan dunia yang didasarkan pada penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat,” tutup Gus Yahya.
Leave a Reply
Lihat Komentar