Hak Angket Dipelopori Kakek Prabowo, Kini Digaungkan untuk Melawan Cucunya

Hak angket DPR sedang jadi buah bibir beberapa waktu belakangan. Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo adalah yang menyuarakan agar hak ini digulirkan untuk mengusut kecurangan Pilpres 2024, yang dimenangkan secara telak oleh pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Awal mula keriuhan hak angket ini diawali dari desakan Ganjar terhadap dua partai politik pengusungnya, yakni PDIP dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk menggulirkan usulan hak angket di DPR RI, guna mengusut tuntas dugaan kecurangan pemilu. Ia menyadari suara partai pengusungnya tak cukup di DPR. Oleh karena itu, ia berharap dukungan dari partai politik pengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar untuk mengajukan hak angket dan interpelasi.

Dengan keterlibatan Partai NasDem, PKS, PKB, serta PDIP dan PPP, maka hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu dapat digolkan oleh lebih dari 50 persen anggota DPR. “Makanya kita harus membuka pintu komunikasi dengan partai pendukung Anies-Muhaimin,” ujar Ganjar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (19/2/2024).

Menanggapi itu, Anies menyebut partai di Koalisi Perubahan, yakni PKB, NasDem, dan PKS, akan siap bekerja sama. “Gini, ketika kita mendengar akan melakukan, kami melihat itu ada inisiatif yang baik dan ketika Pak Ganjar menyampaikan keinginan untuk melakukan angket itu, Fraksi PDI Perjuangan adalah fraksi yang terbesar. Kami yakin bahwa Koalisi Perubahan, Partai NasDem, PKB, PKS, akan siap untuk bersama-sama,” kata Anies di Yusuf Building Law Firm, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024).

Usulan hak angket DPR juga dikomentari oleh ketua umum Golkar, Airlangga Hartarto. Menurutnya, hak angket memang hak politis DPR namun partainya menolak untuk menggulirkannya. Airlangga juga mengatakan bahwa penolakan juga pasti datang dari partai Demokrat. Selain Golkar dan Demokrat, dua partai pengusung Prabowo-Gibran yang masuk parlemen yaitu Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Terlepas dari bergulir atau tidaknya usulan Ganjar ini, terselip kebetulan yang unik. Hak angket yang digaungkan untuk melawan kemenangan Prabowo ini, rupanya dalam sejara Indonesia pertama kali dipelopori oleh  R. Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo.

Merangkum berbagai sumber, hak angket pertama kali digulirkan oleh DPR pada era pemerintahan Soekarno oleh Margono yang dulu menjabat ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) — lembaga yang dibubarkan pada 31 Juli 2003. Margono menggulirkan hak angket pada 1950. Kala itu, ia mendorong DPR gunakan hak angket untuk menyelidiki untung rugi penggunaan devisa oleh pemerintah berdasarkan UU Pengawasan Devisen 1940.

Kemudian bergulir dan dipimpin oleh Margono bersama 13 orang anggota. Namun sayangnya hingga pemilu 1955 rampung dan kabinet dibentuk Soekarno, nasib hak angket itu tidak jelas. Selanjutnya pada 1980 di era Orde Baru, hak angket juga pernah digunakan. Saat itu, DPR gulirkan hak angket disebabkan ketidakpuasan anggota dewan dengan jawaban Presiden Soeharto terkait kasus H Thahir dan Pertamina. Pada sidang pleno DPR RI 21 Juli 1980, Soeharto mengutus Menteri Sekretaris Negara Sudharmono untuk memberikan penjelasan kepada DPR terkait kasus tersebut.

Tak puas dengan penjelasan, DPR kala itu membentuk panitia angket yang terdiri dari 14 orang dari fraksi PDI dan 6 orang fraksi PPP. Sayang, hak angket itu kemudian mendapat penolakan di sidang pleno DPR selanjutnya. Hak angket juga pernah digulirkan di era Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kasus Buloggate dan Bruneigate.

Hak angket di era Gus Dur ini berawal saat presiden mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen. DPR melawan dan menggunakan hak angket di kasus bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh sebesar 2 juta dollar AS. Di era Gus Dur ini, DPR juga gunakan hak interpelasi yang berujung Gus Dur lengser pada 2001 dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Saat Megawati Soekarnoputri jadi Presiden, DPR juga sempat gulirkan hak angket terkait kerugian negara sebesar Rp40 miliar di kasus nonbujeter Bulog. Berlanjut di era Susilo Bambang Yudhoyono, hak angket digulirkan DPR terkait kasus penjualan kapal tangker Pertamina. Hak angket di era Presiden SBY juga dilakukan DPR pada kasus DPT Pemilu 2009 dan hak angket Century. DPR pada 1 Desember 2009 kemudian membentuk panitia khusus hak angket Bank Century.

Panitia Khusus Hak Angket Bank Century berawal dari para pengusul yang terdiri dari sembilan orang yang kemudian hari lebih disebut sebagai Tim 9. Hak angket Century sendiri pada keputusan DPR pada 3 Maret 2010 menghasilkan keputusan bahwa bailout century menyimpang. Sementara di era pemerintahan Jokowi, hak angket digulirkan DPR di kasus KPK.

Hak angket KPK ini bermula saat komisi antirasuah itu menolak memberikan rekaman BAP terhadap Miryam Haryani di kasus e-KTP. BAP Miryam itu menyeret sejumlah nama anggota dan mantan anggota DPR. Wakil ketua DPR saat itu Fahri Hamzah pada sidang paripurna menyetujui penggunaan hak angket KPK. Namun, Fraksi Gerindra, Demokrat dan PKB menolak hak angket kepada KPK.

Sumber: Inilah.com