News

Hak Istimewa Koruptor: Gangsir Uang Negara Dilindungi Parpol

hak-istimewa-koruptor:-gangsir-uang-negara-dilindungi-parpol

Peringatan Hari Antikorupsi Internasional yang jatuh pada 9 Desember diperingati bukan tanpa alasan. Isu korupsi memusingkan dunia termasuk Indonesia di dalamnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan jeda lima tahun bagi koruptor selepas dibui untuk maju dalam kontestasi politik seolah memelihara asa, pemberantasan korupsi harus digencarkan kendati partai politik (parpol) memberi karpet merah kepada para penggangsir uang negara.

Direktur Pusako Fakultas Hukum Univertas Andalas, Padang, Sumbar, Feri Amsari menilai, parpol memiliki tanggung jawab besar dalam pemberantasan korupsi. Alasannya sederhana, parpol menjaring kader-kader calon pemimpin. Artinya, putusan MK yang diketuk akhir November 2022 yang lalu, seharusnya direspons serius oleh parpol dalam menjaring kader baik untuk duduk pada kursi legislatif, kepala daerah, atau parlemen.

“Keuntungan partai sederhana, soalnya koruptor punya uang,” kata Feri, membeberkan mengapa parpol memberi hak istimewa kepada koruptor, dalam sebuah acara diskusi yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, belum lama ini.

Feri menganalogikan parpol dengan koruptor seperti keluarga yang memiliki ikatan erat (chemistry). Dia menyingkatnya dengan perda yakni, pertalian darah, pertalian dakwah, pertalian daerah dan pertalian dana. Adanya hak istimewa ini membuat koruptor masih memiliki kesempatan menjadi bintang dalam perpolitikan kendati pernah menjalani masa pidana perkara yang tergolong kejahatan luar biasa.

Hal senada diungkapkan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti. Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai, tingginya kejahatan korupsi di Tanah Air yang melibatkan tokoh-tokoh politik menandakan lemahnya parpol dalam menyaring kandidat untuk dipilih warga. Mengacu pada data KPK, sejak badan antikorupsi didirikan pada 2003 hingga 2022, sebanyak 600 politisi dijerat perkara rasuah.

Bivitri meyakini, korupsi berulang yang melibatkan anggota DPR maupun DPRD, kepala daerah, maupun pengurus parpol di pusat dan daerah menandakan mekanisme penjaringan kader oleh parpol rawan korupsi. Tidak ada mekanisme ketat untuk memastikan sosok yang diusung mampu menyerap aspirasi publik dan memperjuangkannya. “Partai politik harusnya menjadi filter orang yang akan dipilih warga,” ujarnya.

Dia menantang parpol-parpol di parlemen untuk menerjemahkan putusan MK terkait UU Pemilu dengan merevisi UU Tipikor untuk memasukan ketentuan jeda lima tahun bagi pelaku korupsi untuk berpolitik lagi. “Model aturan ini seharusnya ada di level undang-undang karena partai politik tidak mau membuat undang-undang yang merugikan diri sendiri,” tegas Bivitri.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button