Hakim Mau Mogok Massal Tuntut Naik Gaji, ‘Yang Mulia’ Kehilangan Wibawa


Rbuan hakim se-Indonesia berencana melakukan mogok kerja pada 7 Oktober hingga 11 Oktober 2024 mendatang. Aksi mogok yang dibalut cuti bersama itu dilakukan sebagai bentuk protes ke pemerintah yang dianggap belum memprioritaskan kesejahteraan hakim.

Cara ini dianggap pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul  Fickar Hadjar kurang elok. Ia mengingatkan, hakim merupakan pekerjaan terhormat, karenanya wibawa hakim harus terjaga,

Rencana mogok kerja ini, dinilai akan menggerus wibawa hakim di mata pubilk. “Padahal hakim itu di pengadilan dipanggil yang mulia,” kata Abdul Fickar, dikutip Antara, Sabtu (28/9/2024).

Ia menilai hakim seharusnya bisa menempuh cara lebih terhormat seperti membuka forum dialog dengan pemerintah eksekutif dalam memperjuangkan kenaikan gaji dibandingkan dengan mogok kerja selama berhari-hari. “Harusnya pakai forum yang lebih terhormat untuk adu argumen. Harus duduk bersama-sama,” ucapnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni meminta agar para hakim memikir ulang. Ia berharap langkah mogok kerja tidak benar-benar dilakukan.

“Kalau mogok jangan sampai terjadi, itu nggak baik bagi integritas hakim sendiri, langkah yang baik dengan cara yang baik, melalui mekanisme kelembagaaan,” kata Sahroni.

Diketahui, Solidaritas Hakim se-Indonesia akan menggelar aksi mogok sidang melalui cuti massal selama sepekan mulai tanggal 7-11 Oktober 2024. Alasannya adalah gaji pokok yang dinilai tidak layak karena tak kunjung disesuaikan selama 12 tahun terakhir.

Juru bicara Gerakan Solidaritas Hakim se-Indonesia, Fauzan Arrasyid mengemukakan bahwa saat ini aturan gaji pokok para hakim masih disamakan dengan aturan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Menurutnya, hal tersebut akan berdampak pada penghasilan para hakim ketika masuk masa pensiun, karena ketika pensiun para hakim hanya akan menerima gaji pokok.

“Saat ini besaran gaji pokok memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan jabatan, ketika seorang hakim pensiun, dia penghasilan pensiunnya juga akan turun drastis, mengingat ketika pensiun hanya memperhitungkan gaji pokok dari Hakim yang bersangkutan,” tuturnya di Jakarta dalam siaran pres, dikutip Sabtu (28/9/2024).

Menurutnya, selain harus mengacu pada angka inflasi dan harga emas, penyesuaian gaji pokok dan tunjangan para hakim juga harus mempertimbangkan besaran insentif yang cukup. Hal tersebut menurutnya, bertujuan untuk menarik individu berkualitas agar berminat mendaftarkan diri menjadi hakim di masa depan.

Dia menjelaskan bahwa gaji pokok serta tunjangan para hakim tidak pernah ada penyesuaian sejak 12 tahun yang lalu, hal itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012. “Tanpa kesejahteraan yang memadai, para hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya.