Hamas Tuduh Israel Hambat Bantuan ke Gaza, Bisa Mengganggu Gencatan Senjata


Pejabat Hamas Rabu (29/1/2025) menuduh Israel memperlambat pengiriman bantuan ke Gaza sehingga bisa berakibat mempengaruhi jalannya gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera. Namun tuduhan itu ditolak Israel.

Gencatan senjata bergantung pada pembebasan sandera Israel yang ditawan dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, dengan imbalan 1.900 orang yang ditahan di penjara-penjara Israel. Hamas sejauh ini telah membebaskan tujuh sandera, dengan 290 tahanan dibebaskan sebagai gantinya. Tiga sandera lagi akan dibebaskan Kamis (30/1/2025) besok. 

Sejak gencatan senjata dalam perang di Gaza berlaku pada 19 Januari, truk-truk bantuan telah diizinkan masuk ke Jalur Gaza yang hancur. Namun, dua pejabat senior Hamas menuduh Israel memperlambat pengiriman bantuan, terutama barang-barang penting untuk pemulihan Gaza seperti bahan bakar, tenda, mesin berat, dan peralatan lainnya. “Menurut perjanjian tersebut, bahan-bahan ini seharusnya masuk selama minggu pertama gencatan senjata,” kata seorang pejabat Hamas mengutip AFP.

“Kami memperingatkan bahwa penundaan yang terus-menerus dan kegagalan untuk mengatasi poin-poin ini akan memengaruhi perkembangan alami perjanjian, termasuk pertukaran tahanan.”

Israel membalas tuduhan itu. Juru bicara COGAT, badan kementerian pertahanan Israel yang mengawasi urusan sipil di wilayah Palestina, menyebutnya sebagai berita yang sepenuhnya palsu. Antara Minggu dan 1100 GMT pada Rabu, “3.000 truk memasuki Gaza,” kata juru bicara itu. “Perjanjian itu mengatakan seharusnya 4.200 truk dalam tujuh hari,” tambahnya.

Kedua pejabat Hamas mengatakan perwakilan kelompok itu juga mengangkat masalah tersebut selama pertemuan dengan pejabat Mesir di Kairo hari ini. Jika semua berjalan sesuai rencana pada pembebasan sandera dan tahanan Kamis, tiga sandera lainnya akan dibebaskan pada Sabtu (1/2/2025). Perjanjian ini dimaksudkan untuk mengakhiri lebih dari 15 bulan perang antara Israel dan Hamas.

Kedua belah pihak saat ini sedang melaksanakan fase pertama perjanjian selama 42 hari, yang akan membebaskan 33 sandera. Selanjutnya, mereka akan mulai membahas akhir perang jangka panjang. Fase ketiga dan terakhir dari kesepakatan itu akan melihat rekonstruksi Gaza serta pengembalian jenazah para sandera yang meninggal dunia.

Keluarga-keluarga orang yang masih ditahan di Gaza berharap gencatan senjata akan bertahan. Ratusan orang menghadiri unjuk rasa di Tel Aviv pada hari ini untuk menunjukkan dukungan. “Kita harus optimis. Kita harus terus berusaha dan tidak menyerah,” kata Shakked Fainsod yang berusia 27 tahun.

Sementara menurut kantor kemanusiaan PBB OCHA, meskipun serangan Israel telah menghancurkan rumah-rumah, lebih dari 376.000 warga Palestina yang mengungsi telah kembali ke Gaza utara. “Saya senang bisa kembali ke rumah saya,” kata Saif Al-Din Qazaat, yang kembali ke Gaza utara tetapi harus tidur di tenda di samping reruntuhan rumahnya.

“Saya menyalakan api sepanjang malam di dekat anak-anak agar mereka tetap hangat… (Mereka) tidur dengan nyenyak meskipun dingin tetapi kami tidak memiliki cukup selimut,” kata pria berusia 41 tahun itu kepada AFP.

Bagi banyak orang, perjalanan itu bukan hanya menandai kepulangan ke rumah tetapi juga konfrontasi dengan kenyataan pahit dari kehancuran yang disebabkan oleh perang. Mona Abu Aathra berhasil melakukan perjalanan dari Gaza tengah ke Kota Gaza. Kampung halamannya, Beit Hanoun, merupakan salah satu daerah yang paling parah dilanda operasi militer Israel selama berbulan-bulan yang berlanjut hingga gencatan senjata bulan ini. 

“Kami kembali ke Kota Gaza tanpa apa pun, dan tidak ada air minum. Sebagian besar jalan masih tertutup oleh puing-puing rumah yang hancur,” kata pria berusia 20 tahun itu kepada AFP.