Hampir 60 persen orang dewasa dan sepertiga anak-anak di dunia akan mengalami kelebihan berat badan atau obesitas pada 2050. Dalam studi itu, Indonesia termasuk salah satu negara yang berlomba menjadi penduduk paling gemuk bersama China, India, Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Meksiko dan Mesir.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis Lancet Selasa (4/3/2025) menggunakan data dari 204 negara untuk mencerminkan gambaran suram tentang salah satu tantangan kesehatan terbesar abad ini.
“Epidemi kelebihan berat badan dan obesitas global yang belum pernah terjadi sebelumnya adalah tragedi yang mendalam dan kegagalan masyarakat yang monumental,” kata penulis utama Emmanuela Gakidou, dari Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan (IHME) yang berbasis di Amerika Serikat, dalam sebuah pernyataannya.
Menurut penelitian tersebut, jumlah orang yang kelebihan berat badan di seluruh dunia meningkat dari 929 juta pada 1990 menjadi 2,6 miliar pada 2021. Tanpa perubahan serius, para peneliti memperkirakan bahwa 3,8 miliar orang dewasa akan mengalami obesitas dalam 15 tahun atau hampir 60 persen dari populasi orang dewasa global pada 2050.
Para peneliti memperingatkan bahwa sistem kesehatan dunia akan berada di bawah tekanan yang sangat besar, dengan sekitar seperempat dari penderita obesitas di dunia diperkirakan berusia lebih dari 65 tahun pada saat itu. Mereka juga meramalkan peningkatan obesitas 121 persen di kalangan anak-anak dan remaja di seluruh dunia.
Para peneliti memperingatkan bahwa sepertiga dari seluruh kaum muda yang mengalami obesitas akan tinggal di dua wilayah yakni Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), serta Amerika Latin dan Karibia pada 2050.
Ada beberapa negara yang berlomba menjadi penduduk paling gemuk di dunia. Masih menurut studi itu, ada tiga negara teratas dengan kemungkinan populasi obesitas terbesar pada 2050 yakni China (627 juta), India (450 juta) dan AS (214 juta). Negara lain yang masuk dalam delapan teratas meliputi Brasil (88 juta), Rusia (71 juta), Meksiko (58 juta), Indonesia (52 juta) dan Mesir (41 juta).
Namun, belum terlambat untuk bertindak, kata salah satu penulis studi Jessica Kerr dari Murdoch Children’s Research Institute di Australia. “Komitmen politik yang jauh lebih kuat diperlukan untuk mengubah pola makan dalam sistem pangan global yang berkelanjutan,” katanya.
“Komitmen itu juga diperlukan untuk strategi meningkatkan gizi masyarakat, aktivitas fisik, dan lingkungan hidup, entah itu terlalu banyak makanan olahan atau tidak cukupnya taman,” tambah Kerr.
Meskipun pola makan yang buruk dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak jelas menjadi pendorong epidemi obesitas, “masih ada keraguan” tentang penyebab yang mendasarinya, kata Thorkild Sorensen, seorang peneliti di Universitas Kopenhagen yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Misalnya, kelompok yang kurang mampu secara sosial memiliki “kecenderungan yang konsisten dan tidak dapat dijelaskan” terhadap obesitas, katanya dalam komentar terkait di The Lancet.
Sebuah studi terpisah yang diterbitkan sehari sebelumnya dari World Obesity Atlas, Federasi Obesitas Dunia, juga mengangkat masalah ini. “Wilayah yang paling terdampak adalah negara-negara berkembang,” kata Simon Barquera, presiden federasi tersebut.
Atlas Obesitas menunjukkan bahwa 79 persen orang dewasa dan 88 persen anak-anak dengan obesitas dan kelebihan berat badan akan tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada 2035, dan hanya 7 persen dari semua negara yang memiliki sistem kesehatan memadai untuk mengatasi hal ini. “Ini benar-benar salah satu tantangan kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia,” tambah Barquera.